Selasa

Spiritualitas Katekis Maria Bunda Allah

 


Spiritualitas katekis, yang dijiwai oleh spiritualitas Maria Bunda Allah, menawarkan landasan yang kokoh dan inspiratif bagi mereka yang terpanggil untuk mewartakan iman. Maria, sebagai Bunda Allah (Theotokos), bukan hanya melahirkan Yesus secara fisik, tetapi juga mengandung dan merenungkan Firman Allah dalam hatinya (Lukas 2:19, 51). Inilah yang menjadi dasar spiritualitas katekis: mengandung, merenungkan, dan mewartakan Firman Allah dengan hati yang terbuka dan penuh kasih.

1.      Mengandung Firman Allah (Spiritualitas Inkarnasi):

Seperti Maria yang mengandung Yesus melalui kuasa Roh Kudus, seorang katekis dipanggil untuk "mengandung" Firman Allah dalam dirinya. Ini berarti lebih dari sekadar mengetahui ajaran-ajaran Gereja secara intelektual. Mengandung Firman berarti membiarkan Firman itu meresap ke dalam hati dan mengubah seluruh cara hidup. Proses ini melibatkan:

1.      Mendengarkan Firman: Katekis harus menjadi pendengar Firman yang tekun, melalui pembacaan Kitab Suci, doa, dan perenungan. (bdk. Dei Verbum 25)

2.      Mempelajari Firman: Katekis perlu mendalami ajaran Gereja melalui studi teologi, dokumen-dokumen Gereja, dan sumber-sumber lain yang relevan. (bdk. Katekismus Gereja Katolik 857)

3.      Menghayati Firman: Firman Allah harus dihidupi dalam tindakan sehari-hari, sehingga kata dan perbuatan katekis selaras dengan Injil. (bdk. Yakobus 1:22)

Spiritualitas inkarnasi ini menuntut kerendahan hati dan keterbukaan terhadap Roh Kudus, yang akan memampukan katekis untuk menerima dan menghidupi Firman Allah. Seperti Maria yang berkata "Aku ini hamba Tuhan; terjadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Lukas 1:38), katekis juga harus siap sedia menjadi alat di tangan Tuhan.

 

2.      Merenungkan Firman Allah (Spiritualitas Meditatif):

Maria diceritakan "menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya" (Lukas 2:19). Sikap merenungkan ini menjadi ciri khas spiritualitas Maria dan juga spiritualitas katekis. Merenungkan Firman berarti:

 1.      Membiarkan Firman berbicara: Katekis menyediakan waktu untuk berdiam diri dan membiarkan Firman Allah menyentuh hatinya.

2.      Mencari makna yang lebih dalam: Melalui doa dan refleksi, katekis berusaha memahami pesan Firman Allah bagi dirinya dan bagi orang-orang yang dilayaninya.

3.      Menghubungkan Firman dengan kehidupan: Katekis merenungkan bagaimana Firman Allah dapat diterapkan dalam situasi konkret kehidupan sehari-hari.

Spiritualitas meditatif ini membantu katekis untuk tidak hanya menyampaikan informasi tentang iman, tetapi juga untuk membagikan pengalaman iman yang hidup. Seperti Maria yang merenungkan misteri Inkarnasi, katekis juga dipanggil untuk merenungkan misteri iman dan membagikannya dengan cara yang relevan dan bermakna.

 

4.      Mewartakan Firman Allah (Spiritualitas Misioner):

Setelah mengandung dan merenungkan Firman, Maria pergi mengunjungi Elisabet (Lukas 1:39-56). Kunjungan ini merupakan pewartaan iman yang pertama, di mana Maria membawa Yesus kepada Elisabet dan Yohanes Pembaptis yang masih dalam kandungan. Spiritualitas misioner ini menjiwai setiap katekis untuk:

 1.      Menjadi saksi Firman: Katekis tidak hanya mengajar, tetapi juga memberikan kesaksian tentang bagaimana Firman Allah telah mengubah hidupnya.

2.      Membagikan Kabar Baik dengan sukacita: Seperti Maria yang bersukacita dalam Magnificat (Lukas 1:46-55), katekis juga mewartakan Injil dengan semangat sukacita dan harapan.

3.      Pergi kepada semua orang: Katekis dipanggil untuk mewartakan iman kepada semua orang, tanpa memandang latar belakang atau status sosial. (bdk. Markus 16:15)

Spiritualitas misioner ini menuntut keberanian dan keterbukaan terhadap Roh Kudus, yang akan membimbing katekis dalam mewartakan Injil. Seperti Maria yang berani mengambil risiko untuk mengunjungi Elisabet, katekis juga harus berani keluar dari zona nyaman dan pergi kepada mereka yang membutuhkan pewartaan iman.

 

5.      Kekudusan Maria (Immaculata): Sumber Rahmat dan Teladan Kesucian

 

Kekudusan Maria, yang diimani sebagai Dikandung Tanpa Noda (Immaculata Conceptio), merupakan anugerah istimewa dari Allah. Sejak saat pertama pembuahannya, Maria dilindungi dari noda dosa asal, dipersiapkan secara khusus untuk menjadi Bunda Allah. Kekudusan ini bukanlah hasil usaha manusiawi semata, melainkan buah karya Roh Kudus yang melimpah dalam dirinya.

 

a)      Kepenuhan Rahmat (Kecharitomene): Sapaan Malaikat Gabriel, "Salam, hai engkau yang dikaruniai" (Lukas 1:28), mengungkapkan kepenuhan rahmat Allah dalam diri Maria. Kata Yunani "Kecharitomene" mengandung arti "dipenuhi dengan rahmat" atau "yang sangat dikasihi." Ini menunjukkan bahwa Maria dipersiapkan secara unik oleh Allah.

b)      Kebebasan dari Dosa Asal: Dogma Dikandung Tanpa Noda, yang didefinisikan oleh Paus Pius IX dalam Konstitusi Apostolik Ineffabilis Deus (1854), menegaskan bahwa "Perawan Maria yang tersuci, pada saat pertama pembuahannya, oleh rahmat dan anugerah yang unik dari Allah Yang Mahakuasa, demi jasa-jasa Yesus Kristus, Juruselamat umat manusia, telah dilindungi bersih dari segala noda dosa asal."

c)      Teladan Kesucian bagi Gereja: Maria menjadi citra dan awal Gereja yang akan mencapai kepenuhannya di masa yang akan datang (Lumen Gentium 68). Kesuciannya menjadi teladan bagi seluruh umat beriman dalam perjalanan menuju kekudusan.

 

Kekudusan Maria mengingatkan katekis akan pentingnya hidup dalam rahmat Allah. Katekis dipanggil untuk:

 

a)      Berusaha hidup suci: Melalui doa, Sakramen-Sakramen, pertobatan, dan perbuatan baik, katekis berjuang untuk semakin dekat dengan Allah dan menjauhi dosa.

b)      Menjadi saluran rahmat: Katekis yang hidup dalam rahmat Allah menjadi saluran berkat bagi orang lain, memancarkan kasih dan kebaikan Allah dalam pelayanannya.

c)      Memberikan kesaksian hidup: Kesaksian hidup yang autentik, yang dijiwai oleh kekudusan, menjadi pewartaan iman yang paling efektif.

 

6.      Ketaatan Maria (Fiat): Penyerahan Diri Total pada Kehendak Allah

 

Ketaatan Maria, yang diungkapkan dalam "Fiat" (terjadilah padaku menurut perkataanmu itu – Lukas 1:38), merupakan penyerahan diri total pada kehendak Allah. Ketaatan ini bukan sekadar kepasrahan pasif, melainkan penerimaan aktif dan penuh iman terhadap rencana Allah, meskipun ia belum sepenuhnya memahaminya.

 

a)      Penerimaan Panggilan dengan Iman: Maria menerima kabar dari Malaikat Gabriel dengan iman yang mendalam, meskipun panggilan itu membawa konsekuensi yang besar dan tidak terduga.

b)      Ketaatan dalam Ujian dan Penderitaan: Ketaatan Maria diuji dalam berbagai situasi sulit, termasuk saat kelahiran Yesus di kandang, pengungsian ke Mesir, dan penderitaan Yesus di salib. Ia tetap setia dan taat pada kehendak Allah dalam segala keadaan.

c)      Teladan Kepatuhan bagi Umat Beriman: Ketaatan Maria menjadi teladan bagi seluruh umat beriman untuk selalu mendengarkan dan melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupan sehari-hari.

Ketaatan Maria menjadi inspirasi bagi katekis untuk:

 

a)      Taat pada ajaran Gereja: Katekis dipanggil untuk setia pada Magisterium Gereja dan menyampaikan ajaran iman Katolik secara utuh dan benar.

b)      Taat pada bimbingan Roh Kudus: Katekis membuka diri terhadap bimbingan Roh Kudus dalam mempersiapkan dan melaksanakan katekese.

c)      Melayani dengan rendah hati: Ketaatan menuntut kerendahan hati dan kesediaan untuk melayani sesuai dengan kehendak Allah, bukan kehendak diri sendiri.

 

7.      Pengabdian Maria (Serviam): Cinta Kasih yang Aktif dan Tanpa Pamrih

 

Pengabdian Maria merupakan buah dari kekudusan dan ketaatannya. Ia tidak hanya menerima panggilan sebagai Bunda Allah, tetapi juga menghidupinya dengan penuh pengabdian dan pelayanan yang aktif.

 

a)      Pelayanan kepada Elisabet: Kunjungan Maria kepada Elisabet (Lukas 1:39-56) menunjukkan semangat pelayanan Maria yang bergegas membantu sesama yang membutuhkan.

b)      Perhatian pada Kebutuhan di Kana: Perhatian Maria pada kekurangan anggur di Kana (Yohanes 2:1-12) menunjukkan kepekaannya terhadap kebutuhan konkret orang lain dan inisiatifnya untuk membantu.

c)      Kesetiaan Mendampingi Yesus: Maria setia mendampingi Yesus dalam seluruh perjalanan hidup-Nya, termasuk saat-saat penderitaan-Nya di salib (Yohanes 19:25-27).

Pengabdian Maria menginspirasi katekis untuk:

 

a)      Melayani dengan cinta kasih: Katekis melayani dengan motivasi cinta kasih yang tulus kepada Allah dan sesama, bukan untuk mencari pujian atau keuntungan pribadi.

b)      Memperhatikan kebutuhan peserta katekese: Katekis berupaya memahami kebutuhan spiritual dan pribadi peserta katekese, serta menyesuaikan metode pengajaran sesuai dengan kebutuhan tersebut.

c)      Bertekun dalam pelayanan: Seperti Maria yang setia mendampingi Yesus hingga akhir, katekis juga dipanggil untuk bertekun dalam pelayanan, menghadapi tantangan dengan sabar dan penuh harapan.

 

 

Referensi:

 

·         Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum. Dokumen ini menekankan pentingnya Kitab Suci dalam kehidupan Gereja dan panggilan untuk mewartakan Firman.

·         Katekismus Gereja Katolik (KGK). KGK memberikan penjelasan yang komprehensif tentang ajaran iman Katolik dan peran Maria dalam sejarah keselamatan.

·         Surat Apostolik Marialis Cultus dari Paus Paulus VI. Dokumen ini membahas devosi kepada Maria dan relevansinya bagi kehidupan Kristiani.

·         Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum (Konsili Vatikan II)

·         Seruan Apostolik Christifideles Laici (Paus Yohanes Paulus II)

·         Konstitusi Apostolik Ineffabilis Deus (1854), oleh Paus Pius IX

Kamis

Fratelli Tutti. sebuah dokumen yang indah untuk membangun peradaban yang penuh cinta kasih Allah

 

Inti ajaran Katolik berfokus pada kasih dan persaudaraan. Ajaran ini, yang dihidupi oleh Yesus Kristus sendiri, mengajak kita untuk memandang setiap individu sebagai saudara dan saudari, tanpa memandang perbedaan yang ada. Ensiklik Fratelli Tutti yang ditulis oleh Paus Fransiskus kembali menegaskan panggilan ini dengan merangkum dalam lima poin penting: Persaudaraan Universal, Solidaritas Sosial, Budaya Perjumpaan, Politik yang Lebih Baik, dan Peran Agama.

 Persaudaraan Universal, seperti yang dicantumkan dalam Fratelli Tutti, bukanlah sekadar sebuah gagasan ideal, melainkan sebuah realitas teologis yang berakar pada keyakinan bahwa kita semua diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. St. Yohanes Paulus II, dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, menekankan dimensi transenden manusia serta persatuan kodrati umat manusia. Kita semua terhubung dalam satu keluarga manusia, suatu kebenaran yang melampaui batas ras, agama, dan kebangsaan. Seperti yang diungkapkan oleh St. Agustinus, "Engkau telah menciptakan kami untuk diri-Mu sendiri, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sampai ia beristirahat di dalam Engkau. " Kerinduan untuk bersatu ini tertanam dalam diri setiap manusia, sebuah kerinduan untuk kembali kepada Sang Pencipta, yang merupakan sumber persaudaraan sejati.

Solidaritas Sosial muncul sebagai konsekuensi logis dari persaudaraan universal. Jika kita semua merupakan saudara, berarti kita memiliki tanggung jawab moral untuk saling peduli, terutama terhadap mereka yang paling rentan. Ajaran Sosial Gereja Katolik, yang dipaparkan secara sistematis dalam Rerum Novarum oleh Paus Leo XIII dan dikembangkan lebih lanjut oleh para Paus setelahnya, menekankan pentingnya melindungi hak-hak kaum miskin dan tertindas. Paus Benediktus XVI, dalam ensiklik Caritas in Veritate, mengaitkan solidaritas dengan kasih dalam kebenaran, menegaskan bahwa tindakan kasih tanpa kebenaran dapat terperosok dalam sentimentalitas kosong, sementara kebenaran tanpa kasih bisa menjadi dingin dan tidak manusiawi. Solidaritas sejati mengharuskan kita untuk mengambil tindakan konkret guna mengatasi ketidakadilan dan membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif.

Budaya Perjumpaan mendorong kita untuk melampaui prasangka dan ketakutan, serta membuka diri untuk berdialog dan bersahabat dengan orang lain, bahkan dengan mereka yang berbeda dengan kita. Paus Fransiskus sering kali menekankan pentingnya "perjumpaan," yang menggambarkan interaksi otentik antar manusia, di mana kita saling mendengarkan, memahami, dan memperkaya satu sama lain. St. Fransiskus dari Assisi, yang menjadi inspirasi ensiklik Fratelli Tutti, menjadi teladan kuat dalam budaya perjumpaan melalui dialognya dengan Sultan Mesir. Ia menunjukkan bahwa dialog dan persahabatan dapat menjembatani perbedaan serta membangun perdamaian.

Politik yang Lebih Baik merupakan politik yang berorientasi pada kebaikan bersama, bukan pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Ajaran Sosial Gereja menekankan pentingnya partisipasi warga negara dalam kehidupan politik dan tanggung jawab para pemimpin untuk melayani kepentingan umum. Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, menyerukan tatanan sosial dan politik yang adil, yang menghormati martabat manusia dan mempromosikan kesejahteraan semua. Politik yang baik harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, solidaritas, dan subsidiaritas.

Peran agama memiliki signifikansi yang sangat besar dalam mendorong persaudaraan dan perdamaian. Ketika dihayati dengan tulus, agama dapat menjadi kekuatan utama untuk dialog, rekonsiliasi, dan kerjasama antar umat manusia. Contoh nyata dari hal ini terlihat dalam Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama, yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb, pada tahun 2019. Dokumen ini menunjukkan bagaimana berbagai agama dapat bersatu demi menciptakan dunia yang lebih baik, di mana agama tidak menjadi sumber konflik, melainkan jembatan untuk membangun perdamaian dan persaudaraan.

Dengan mengejawantahkan kelima poin ini, kita memiliki kesempatan untuk membangun dunia yang lebih berperikemanusiaan. sebuah dunia di mana setiap individu diakui dan dihormati sebagai saudara dan saudari, di mana keadilan dan perdamaian menjadi landasan hidup bersama. Ini adalah panggilan bagi setiap orang Kristen, sebuah panggilan untuk menjadi saksi kasih Kristus di tengah-tengah masyarakat.

Rabu

Menyisihkan waktu bukan menyisakan waktu untuk pelayanan kepada Tuhan

 

Daniel 6 : 10-11

Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya. Lalu orang-orang itu bergegas-gegas masuk dan mendapati Daniel sedang berdoa dan bermohon kepada Allahnya.

1 Korintus 16:1-2

Tentang pengumpulan uang bagi orang-orang kudus, hendaklah kamu berbuat sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang kuberikan kepada Jemaat-jemaat di Galatia. Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu  hendaklah kamu masing-masing--sesuai dengan apa yang kamu peroleh--menyisihkan sesuatu dan menyimpannya di rumah, supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan,   kalau aku datang.

Sangat sering kita mendengar bahkan mengalami sendiri Ketika di minta untuk pelayanan dalam bentuk apapun di Gereja, kita atau banyak yg lainnya akan mengatakan “ maaf saya sibuk sekali, saya kalua pulang kerja jam 7 malam tiap hari, sampai rumah pastis dah capek.” Atau “maaf anak-anak saya masih kecil-kecil repot sekali kalau mau pelayanan” dan jutaan kalimat-kalimat yang senada dengan itu. Tetapi disisi lainnya kita juga sering mendengar kalimat “ Gusti Mboten sare” atau “Allah tidak Tidur”. Dua kalimat yang bertolak belakang. Satu sisi kita merasa sangat padat, sangat sibu sehingga tidak mampu memberikan waktu untuk melayani asllah melalui sesame, tepi justru sebaliknya Allah bahkan tidak pernah “tidur” untuk melindungi kita, memberi rahmat, menyelamatkan, memeluk kita. Sebandingkah? Setimpalkah yang kita lakukan? Apakah benar tidak ada waktu untuk Tuhan? Pertanyaannya mungkin perlu diperdalam, apakah kita benar- benar tidak ada waktu atau mungkin justru kita sebenarnya tidak ada hati untuk Tuhan.

Mari kita belajar dari tokoh-tokoh dalam Alkitab. Rumusan “sisihkan, bukan sisakan” seharusnya juga menjadi rumusan untuk waktu khusus bersama Tuhan. Seperti nabi Daniel. Dalam kitab Daniel bab 6 di sebutkan bahwa Daniel adalah pembesar negara yang tentu sangat sibuk , tetapi yang mengagumkan, ia sudah punya waktu, bahkan metode yang tetap untuk selalu Berdoa (pelayanan) kepada Allah. Dalam konteks ini, Daniel sedang terancam akan dibunuh oleh orang yang tidak suka kepadanya dengan dilempar ke gua singa. Namun, 3x “berjumpa” dengan Allah bukan dilakukan Daniel karena panik dengan semua ancaman itu. Melainkan sudah menjadi pola kebiasaannya setiap hari. Ia benar-benar telah menyisihkan waktu yang terbaik untuk Allah, bukan memberi sisa waktu.

Santo Paulus kepada jemaat di korintus memberikan solusi Ketika mereka kesulitan memberikan persembahan, dengan alasan tidak memiliki sisa uang. Paulus meminta mereka mengubah cara pandang dari menyisakan, menjadi menyisihkan. Bukan menunggu sampai ada tetapi justru bagaimana menciptakan supaya ada.

Ke dua tokoh Alkitab ini mengajarkan kepada kita bahwa mungkin selama ini kita hanya memberi sisa-sisa waktu, sisa-sisa tenaga, serta kemauan sehingga waktu bersama Tuhan tidak berisi. Mari ubah pendekatan kita dengan menyisihkan (menyediakan)— bukan menyisakan—waktu untuk berdoa dan pelayanan. Mungkin awalnya terasa berat, tetapi mintalah pertolongan Roh Kudus agar kita bijak menempatkan prioritas hidup dan diperkenankan menikmati persekutuan yang indah dengan Allah tiap hari. Persekutuan dengan Allah menolong kita menghadapi situasi hidup apa pun.

Jumat

Leadership: 5 KARATERISTIK PEMIMPIN MENURUT SANTO FRANSISKUS ASISI

 

Ada banyak model kepemimpinan di dunia dan ada banyak spirtualitas yang bisa di pakai untuk belajar kepemimpinan. Salah satu yang menarik adalah belajar kepemimpinan dari santo fransiskus asisi. Memang fransiskus tidak menyampaikan secara langsung bagaimana menjadi pemimpin yang baik, atau memberi tulisan – tulisan khusus tentang kepemimpinan. Tetapi kita bisa belajar dari cara hidup santo fransiskus, pilihan-pilihannya, dan nasihat nasihatnya. Dengan demikian kita mampu menjadi seorang pemimpin yang baik. Berikut adalah 5 hal dari berbagai sumber yang bisa kita teladani untuk menjadi pemimpin ala Fransiskus asisi:

  1.   CONVERSIO

Conversio adalah sebuah tindakan pertobatan injili, atau pertobatan yang dilakukakan secara terus menerus tiada henti. Pertobatan tidak hanya di artikan berbalik arah, tetapi keterarahan hati dan jiwa kepada Allah. Serta sebuah upaya untuk terus menerus memperbaiki diri. Pemimpin ala fransiskus asisi harusnya memiliki sikap conversio yang artinya mampu melakukan pertobatan terus menerus. Pertobatan yang pertama adalah berdamai dengan seluruh pengalaman pahit masa lalu, melepaskan semua dendam dan sakit hati yang terjadi karena luka-luka masa lalu. Dengan berdamai dan menerima semuanya itu maka seorang pemimpin bisa mengambil keputusan dengan obyektif. 
Pemimpin juga harus mampu berdamai dengan dirinya sendiri yaitu menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Sehingga tahu bagaimana harusmengembangkan dirnya. Pemimpin ala fransiskus asisi juga harus selalu membuka diri pada perubahan ke arah yang lebih baik. Selalu memprbaharui diri hingga semakin serupa dengan Allah

 

2.       PARVUM HABITUS
Bersikap kecil, artinya seorang pemimpin ala fransiskus memiliki sikap merasa kecil di hadapan Allah sehingga ia bersedia untuk turba (turun ke bawah) dan menyapa semua anggotanya sebagai saudara seperjuangan dengan kasih. Bukan sebagai tuan dan hamba. Dalam injil Yesus bahkan menyebut para rasul sebagai sahabat. Dengan sikap ini ini maka  seorang pemimpin mampu mendengarka aspirasi secara baik dan tidak menjadi diktator. Paus fransiskus sangat menghidupi sikap ini. 

 

3.       CONTEMPLATIO
Seorang pemimpin ala fransiskus harus mampu berefleksi, merenung dan mengolah diri, sehingga setiap keputusan di ambil dengan ketenangan batin. Fransiskus asisi mengajarkan pentingnya selalu berdoa di dalam setiap proses pengambilan keputusan sehingga ada waktu untuk menganalisa keputusan, apakah ini kehendak daging ataukah kehendak roh. Pembatinan ini berguna juga untuk mengevaluasi semua tindakan yang di ambil. Skema nya adalah
MELIHAT ---- MENGANALISA---- BERTINDAK
Setelah melihat situsi kemudian menganalisa atau merenungkan, disinilah contemplatio berada kemudian bertndak untuk mengambil keputusan. Setelah itu di lihat kembali kemudian di contemplatio lagi dan di perbaiki begitu seterusnya.
 
4.       FRATERNITATEM
Seorang pemimpin ala fransisku harus di jiwai semangat persaudaraan. Karena di dalam persaudaraan, setiap pemimpin haruslah mampu mendengar dan memberi telinga kepada semua yang dipimpinnya, Ia harus mau menceritakan pengalamannya, keterbukaannya, pengharapannya dan permasalahannya. Ketika seorang pemimpin memberi telinganya kepada yang dipimpin maka ia harus juga bersedia mengampuni kesalahan sesama. Jika ada anggotanya yang sakit, maka pempin harus bisa mengisnpirasi anggota yang lain untuk bisa merawatnya sama seperti seorang ibu merawat anaknya yang sakit. Bagi pemimpin dengan semangat fransiskan para anggota adalah bagian dari hidupnya, saudara saudarinya yang kemudian di cintainya dengan tulus sama seperti Yesus Kristus yang mengangap semua orang adalah saudara-saudarinya dan berani mencintai dengan tulus bahkan mengorbankan dirinya di kayu salib.

 5.       Fortitus

 Seorang pemimpin ala fransiskus sebaiknya memiliki jiwa keberanian, berani mengambil sikap yang benar, Ketika dunia saat ini sedang sakit dan berada dalam kondisi ketidakjelasan maka pemimpin ala fransiskus berani mengambil sikap agar bisa membawa anggotanya pada arah yang baik. Pemimpin juga bearin mengaku salah jika memang salah, berani meinta maaf, berani belajar dari semua orang, berani membela jika memang berada pada posisi benar.

Allah yang Murah Hati

 Jadi, janganlah kamu mempersoalkan apa yang akan kamu makan atau apa yang akan kamu minum dan janganlah cemas hatimu. Semua itu dicari bangsa-bangsa di dunia yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu  tahu, bahwa kamu memang memerlukan semuanya itu. (Luk 12:29-30)

Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu  adalah murah hati." (Luk 6:36)

Dari perikop di atas Kita mengetahuinya bahwa Allah sungguh memperhatikan manusia. Sejak semula Allah sungguh murah hati, kemurahatian Allah menyentuh semua dimensi kehidupan manusia. Tidak ada bagian hidup manusia yang tidak di perhatikan oleh Allah. Maka sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk selalu kuatir dengan bagaimana kita hidup.

Kemurahatian Allah tidak berarti kita tidak perlu berbuat apa-apa, tetapi dengan berusaha sungguh-sungguh memperjuangkan hidup kita dapat merasakan bagaimana Allah murah hati. Karena Allah yang sangat murah hati maka kita pun harus menunjukkan hal yang sama yaitu selalu murah hati. Kita bisa melihat kemurahatian Allah didalam Yesus Kristus karena dalam Yesus kemurahan hati Allah nyata bagi kita. Yesus tidak hanya berkata, “Hendaklah kamu murah hati sama seperti Bapamu murah hati”, tetapi Ia juga mewujudnyatakan kemurahan hati Allah itu dalam dunia kita. Kita perlu memperhatikan dengan cermat kata-kata dan karya-karya Yesus kalau kita mau memahami rahasia kemurahan hati Allah itu.  Yesus menunjukkan bahwa Allah tidak hanya memberi hidup, tetapi juga memenuhi kebutuhan hidup umat-Nya.

Allah sungguh murah hati, dan inilah ungkapan yang bisa kita sampaikan Ketika kita mau bersyukur dan melihat dengan hati akan apapun yang kita rasakan.


Rabu

Allah adalah penyelamat

 Sebelum Tobia mendekati ayahnya berkatalah Rafael kepadanya: "Aku yakin bahwa mata ayahmu akan dibuka." Sapulah empedu ikan itu kepada matanya. Obat itu akan memakan dahulu, lalu mengelupaskan bintik-bintik putih itu dari matanya. Maka ayahmu akan melihat lagi dan memandang cahaya." Adapun Hana bergegas-gegas mendekap anaknya, lalu berkatalah ia kepadanya: "Setelah engkau kulihat, anakku, maka mulai sekarang aku dapat mati." Maka ia menangis. Tobitpun berdiri dan meskipun kakinya tersandung namun ia keluar dari pintu pelataran rumah. Tobia menghampirinya dengan empedu ikan itu di tangan lalu ditiupinya mata Tobit. ditopangnya ayahnya dan kemudian berkatalah ia kepadanya: "Tetapkan hati, pak!" Selanjutnya obat itu dikenakannya padanya dan dibiarkannya sebentar. Lalu dengan kedua tangannya dikelupaskannya sesuatu dari ujung-ujung matanya. Maka Tobit mendekap Tobia sambil menangis. Katanya: "Aku melihat engkau, anakku, cahaya mataku!" Ia menyambung pula: "Terpujilah Allah, terpujilah nama-Nya yang besar, terpujilah para malaikat-Nya yang kudus. Hendaklah nama Tuhan yang besar ada di atas kita dan terpujilah hendaknya segala malaikat untuk selama-lamanya. Sungguh aku telah disiksa oleh Tuhan, tetapi kulihat anakku Tobia!" (Tobia 11:7-14)

 Perikop diatas memberikan gambaran bahwa Tobit memang mengalami suatu cobaan, didalam penderitaannya itu tampaklah karya Allah. Allah telah menyembuhkannya dengan perantaraan anaknya, Tobia.

Perikop ini menyampaikan bahwa Allah sang penyelamat bertindak dengan segala cara yang ada. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah untuk menyelamatkan manusia. Segala cara artinya bahwa hal-hal sederhana di sekitar kita adalah karya Allah untuk menyelamatkan manusia, bahkan setiap orang yang kita kenal dan menjadi bagian dari hidup kita sering dipakai Allah untuk menyelamatkan kita. Orang tua, saudara, tetangga, anak, istri, teman sekolah, teman bermain dan sebagainya. Melalui merekalah Allah menyapa kita, melindungi kita. Maka yang kita lakukan adalah selalu bersyukur atas apapun yang kita miliki. Menjaga relasi dengan siapapun tetap baik adalah bagian dari rasa syukur kita atas keselamatan dari Allah. 

keselamatan dari Allah bukanlah tentang sesutu yang besar atau ajaib tetapi sesuatu yang simpel, kadang bahkan kita tidak menyadari bahwa itu bagian dari karya Allah. kita yang terlalu menuntut sesuatu yang besar dan ajaib menutup mata untk sesuatu yang sederhana dan merasa seakan Allah tidak melakukan apapun untuk kita. Padahal ketika kita membuka hati untuk selalu bersyukur dan mau melihat secara sederhana di sekitar kita ada banyak keajaiban.

Allah sang Pencinta

 

Dalam kisah penciptaan kita dapat melihat bahwa Allah sungguh mencintai manusia hal ini dapat kita lihat dalam Kej 1:1-2:4. Allah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum menciptakan manusia, bahkan Allah memperkenan manusia untuk mengelola semua ciptaan Allah.

Allah adalah Maha Besar (Ibr 1:3) dan Maha Baik, Karena pengetahuan kita tentang Allah itu terbatas, maka pembicaraan kita tentang Allah pun demikian juga. Kita hanya dapat berbicara tentang Allah dari sudut pandang ciptaan dan sesuai dengan cara mengerti dan cara berpikir manusiawi kita yang terbatas.(KGK 40)

Allah adalah kasih. Kita sering dengar frasa ini, “Allah adalah kasih”, atau “Allah maha-kasih dan maha-penyayang”. Dalam  1Yoh.4:7,8 di sampaikan untuk saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah dan setiap orang yang saling mengasihi lahir dari Allah dan mengenal Allah. Jadi barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah Kasih.

Kita mengetahui, Apa yang dilakukan oleh Allah untuk kita, selalu Ia laukan karena kasihNYA kepada kita, Allah telah merencanakan yang serba baik bagi manusia. Apa yang ditulis di dalam Kitab Suci (kitab Kejadian-penciptaan) adalah Allah yang begitu baik bagi kita.

Kasih Allah adalah kasih yang membuat kita terus bertumbuh menuju ke arah Kristus, dan bukan kasih yang semakin berfokus kepada diri atau yang embuat kita kemudian menjadi pribadi yang egois. Kasih Allah bukanlah kasih yang semata-mata membuat diri kita menjadi manja. Namun kasih Allah adalah kasih yang berpusat kepada diri Allah; kasih yang menyempurnakan umat-Nya untuk semakin serupa dengan Kristus. Kasih yang menyelamatkan manusia sehingga menjadi semakin manusia dan semakin layak untuk Bersama Allah dalam kerajaan-Nya.

Kamis

MELIHAT SEBUAH CINTA MELALUI TRADISI TRANSITUS ST FRANSISKUS


“Transitus adalah sebuah tradisi para fransiskan yang berasal dari bahasa Italia “Transito” yang memiliki arti peralihan Transitus merupakan masa peralihan dari kehidupan yang lama menuju kehidupan baru. Secara teologis, transitus dapat dikatakan juga merupakan masa peralihan dari kehidupan dunia ke kehidupan surgawi yang dikenal dalam iman.

Para fransiskan dan fransiskanes merayakan transitus sehari sebelum perayaan wafatnya St Fransiskus Assisi tanggal 4 oktober. Mereka merayakan dalam bentuk ibadat dalam komunitas-komunitas dan permenungan yang biasanya diambil dari beberapa pokok penting dalam hidup Bapa Fransiskus Asisi. Transitus ini adalah sebuah peristiwa cinta yang agung. Para fransiskan dan fransiskanes mengenang kembali dan merenungkan cinta St. Fransiskus Assisi kepada Yesus Kristus yang tersalib. Dalam puncak cintanya, Bapa Fransiskus tidak memandang kematian sebagai sebuah kengerian, tetapi sebuah peristiwa datangnya saudari maut yang akan mengajaknya menemui sang cinta sejati yaitu Yesus Kristus. Di dalam cinta segala sesuatu menjadi indah karena di dalamnya Allah hadir (bdk 1 yoh 4:8). Santo Fransiskus mencintai semua ciptaan yang ada di alam semesta karena  ia begitu dekat dengan Allah dan mencintaiNya dengan sepenuh hidupnya. Peristiwa transitus membuktikan hal ini, dimana bahkan sang maut pun dicintai oleh Santo Fransiskus.

Santo Fransiskus dikaruniai Lima luka suci yang mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa pada tubuh Fransiskus dua Tahun sebelum kematiannya, Yaitu setelah berdoa di dalam kesunyian bukit La Verna pada awal September 1224. Di tempat ini Franasiskus berdoa “Tuhanku Yesus Kristus, saya mohon kepada-Mu karuniakanlah dua anugerah sebelum saya meninggal.  Pertama ialah agar Kau izinkan merasakan – dalam jiwa ragaku – sebanyak mungkin penderitaan hebat yang Engkau, Yesus Yang Manis, telah rasakan pada saat sengsara-Mu yang amat pahit itu. Kedua ialah agar saya boleh merasakan dalam hatiku sebanyak mungkin cinta yang tak terbatas, dengan mana Engkau, Putera Allah, tergerak dan mau menanggung sengsara sedemikian itu bagi kami para pendosa”.

Santo Fransiskus merasakan bahwa Saudari maut sudah sangat dekat, kemudian Ia meminta para saudara dina melepaskan semua jubahnya dan berbaring di lantai tanpa alas agar dapat menyerupai Kristus di kayu salib yang sedang menghadapi maut. Fransiskus kemudian minta kepada para saudara dina untuk membacakan baginya kisah sengsara Tuhan Yesus Kristus dari Injil Yohanes. Lalu, dengan tangan-tangannya yang menyilang di dada, Fransiskus memberkati semua anak-anak rohaninya. Dia mulai mendaras Mazmur Daud bersama anak-anak rohaninya itu: “Dengan nyaring aku berseru-seru kepada TUHAN, dengan nyaring aku memohon kepada TUHAN”, dan menyelesaikan mazmur itu sampai akhir: “Orang-orang benar akan mengelilingi aku, apabila Engkau berbuat baik kepadaku” (Mzm 142:2-8; lihat 1Cel 109; LegMaj XIV:5).

Tradisi transitus ini semakin menunjukan betapa besarnya cinta Santo Fransikus kepada Yesus Kristus yang membuat Ia mampu mengalahkan rasa sakit dan penderitaannya. Melalui peristiwa ini kita diajak untuk berani hidup di dalam cinta Bersama Allah. karena dengan demikian kita mampu untuk melihat semua kepahitan hidup ini dengan rasa syukur dan tetap sukacita. Sekalipun beban yang kita tanggung berat, sekalipun kita harus menerima penolakan atau mungkin amarah dan kebencian dari orang lain. Tetapi, selama kita berada di dalam cinta bersama Allah seperti Bapa Fransiskus kita akan mampu melihat semuanya itu dalam kaca mata syukur.

pernah penulis posting di smasedes-smg.sch.id

sumber referensi: 

https://catatanseorangofs.wordpress.com/2010/01/22/arti-kematian-santo-fransiskus-dari-assisi/

Selasa

Sejarah terbentuknya Kitab Suci perjanjian Lama

 Alkitab Gereja Katolik terdiri dari 73 kitab, yaitu Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab. Bagaimanakah sejarahnya sehingga Alkitab terdiri dari 73 kitab, tidak lebih dan tidak kurang? Pertama, kita akan mengupas kitab-kitab Perjanjian Lama yang dibagi dalam tiga bagian utama: Hukum-hukum Taurat, Kitab nabi-nabi dan Naskah-naskah. Lima buku pertama: Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, Kitab Imamat dan Kitab Bilangan dan Kitab Ulangan adalah intisari dan cikal-bakal seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada suatu ketika dalam sejarah, ini adalah Kitab Suci yang dikenal oleh orang-orang Yahudi dan disebut Kitab Taurat atau Pentateuch .

Periode I (Antara tahun 1800 - 1600 S.M.): Zaman Bapa-bapa bangsa (Abraham-Ishak-Yakub).

 Periode ini adalah awal sejarah bangsa Israel yang dimulai dari panggilan Abraham sampai dengan kisah tentang Yakub. Dalam tahun inilah Bapa-bapa bangsa hidup. Sebagian kisah mereka tersimpan dalam Kej 12 - 50. Kisah ini kemudian diteruskan secara lisan turun temurun.

Periode II (Antara tahun 1600 - 1225 S.M.): Pengungsian bangsa Israel ke Mesir sampai dengan Perjanjian Sinai

               Periode ini adalah periode kisah bangsa Israel mengungsi ke Mesir, perbudakan di Mesir, pembebasan dari Mesir sampai Perjanjian di Sinai. Kisah-kisah tersebut juga masih disampaikan secara lisan. Mungkin sekali 10 perintah Allah (Dekalog) dalam rumusan yang pendek sudah ditulis pada masa ini sebagai pedoman hidup.

Ini adalah inti Kitab Keluaran

Periode III (Antara tahun 1225 - 1030 S.M.): Perebutan tanah Kanaan dan zaman Hakim-Hakim.

               Pada periode ini, bangsa Israel merebut tanah Kanaan yang diyakini sebagai Tanah Terjanji di bawah pimpinan Yosua dan kehidupan bangsa Israel di tanah yang baru di bawah para tokoh  yang diberi gelar Hakim. Hakim-hakim itu antara lain adalah Debora,  Simson, dan sebagainya. Di samping cerita pada masa ini, juga sudah terdapat beberapa hukum.

Ini adalah inti Kitab Yosua

Periode IV (Antara tahun 1030 - 930 S.M.): Periode Raja-Raja.

               Pada periode ini, bangsa Israel memasuki tahap baru dalam kehidupannya. Mereka mulai menganut sistem kerajaan yang diawali dengan raja Saul, kemudian  digantikan oleh raja Daud dan diteruskan oleh raja Salomo, putra Daud. Pada masa inilah bangsa Israel menjadi cukup terkenal dan disegani  oleh bangsa-bangsa lain. Pada zaman raja Saul, Daud, dan Salomo,  bagian-bagian Kitab Suci Perjanjian Lama mulai ditulis. Misalnya, Kisah  Penciptaan Manusia, Manusia jatuh dalam dosa dan akibatnya, Bapa-bapa Bangsa, Kisah Para Raja, beberapa bagian Mazmur, dan hukum-hukum.

Kehidupan raja-raja inilah yang menjadi Inti Kita Raja-raja

Periode V (Antara tahun 930 - 722 S.M.): Kerajaan Israel dan Yahuda.

Sesudah raja Salomo wafat, kerajaan Israel terpecah menjadi dua, yaitu kerajaan Utara (Israel) dan kerajaan Selatan (Yuda). Kerajaan Utara hanya berlangsung sampai tahun 722 S.M. Pada periode ini dilanjutkan dengan penulisan Kitab-kitab Suci Perjanjian Lama yang melengkapi cerita-cerita Kitab Taurat Musa serta beberapa tambahan hukum. Di samping itu, pada periode ini mulai muncul pewartaan para nabi dan kisah para nabi seperti Elia dan Elisa, Hosea, Amos. Beberapa bagian pewartaan para nabi mulai ditulis. Pada masa ini, beberapa kumpulan hukum perjanjian mulai diterapkan dan ditulis. Kita dapat membacanya dalam kitab Ulangan.

Periode VI (Antara tahun 722—587 S.M.): Kerajaan Yehuda sesudah Kerajaan Israel runtuh.

               Kerajaan Yehuda masih berlangsung sesudah kerajaan Israel jatuh pada taun 722 S.M. Kerajaan Yehuda atau Yuda masih tetap berdiri kokoh sampai akhirnya mereka dibuang ke Babilon pada tahun 587 S.M. Pada masa ini beberapa tradisi tertulis tentang kisah bapa-bapa bangsa mulai disatukan. Demikian juga, pewartaan para nabi mulai ditulis dan sebagian diteruskan dalam bentuk lisan. Pada masa ini juga muncul tulisan tentang sejarah bangsa Israel, beberapa bagian dari Mazmur, dan Amsal.

Periode VII (Antara tahun 586 - 539 S.M.): Zaman pembuangan Babilon.

               Orang-orang Israel yang berasal dari Kerajaan Yuda hidup di pembuangan Babilon atau Babel selama kurang lebih 50 tahun. Pada masa ini, penulisan Kitab Sejarah dilanjutkan. Muncul pula tulisan yang kemudian kita kenal dengan kitab Ratapan. Demikian pula halnya dengan nabi-nabi, pewartaan para nabi sebelum pembuangan ditulis pada masa ini. Pada periode ini juga muncul para imam yang menuliskan hukum-hukum yang sekarang masuk dalam kitab Imamat.

Periode VIII (Antara tahun 538 - 200 S.M): Zaman sesudah Pembuangan

               Sesudah lima puluh tahun dalam pembuangan di Babel, raja Persia[1], yaitu Koresy (Sirus), pada tahun 538 S.M. mengijinkan umat Israel kembali ke tanah airnya dan membangun Bait Allh di Yerusalem.[2] Pada masa ini kelima kitab Taurat telah diselesaikan. Juga kitab-kitab Sejarah Yosua, Hakim-hakim, 1-2 Samuel, dan Raja-raja sudah selesai ditulis. Kitab-kitab para nabi pun sudah banyak yang diselesaikan Dari ratusan nyanyian, akhirnya dipilih 150 mazmur yang kita terima sampai sekarang. Pada masa ini muncul pula beberapa tulisan Kebijaksanaan.

Periode IX (Dua abad terakhir / Antara Tahun 200 S.M. – 1 M):

               Pada masa ini ditulislah kitab-kitab seperti: Daniel, Ester, Yudith, Tobit, 1, 2 Makabe, Sirakh dan Kebijaksanaan Salomo.

 

Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh karena itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint , yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah. Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi yang terusir, yang tinggal di Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.

Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap Gereja Katolik. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon Kitab Suci mereka: [1] Ditulis dalam bahasa Ibrani; [2] Sesuai dengan Kitab Taurat; [3] lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM); [4] dan ditulis di Palestina. Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan semata-mata atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.

Gereja Katolik tidak mengakui konsili rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di Hippo tahun 393 Masehi dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja Katolik secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak oleh konsili Jamnia, dikutip oleh para Patriarch Gereja ( Church Fathers ) sebagai kitab-kitab yang setara dengan kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Church Fathers, beberapa diantaranya disebutkan disini: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus adalah para Patriarch Gereja yang hidup pada abad-abad pertama dan tulisan-tulisan mereka - meskipun tidak dimasukkan dalam Perjanjian Baru - menjadi bagian dari Deposit Iman . Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja Katolik sebagai Deuterokanonika ( = second-listed ) yang artinya kira-kira: "disertakan setelah banyak diperdebatkan".

sumber referensi : https://www.imankatolik.or.id/Sejarah_Kitab_Suci.htm