Minggu

BUDAYA KEKERASAN




1.   Rupa-Rupa Dimensi Kekerasan
a.   Kekerasan Psikologis
Kita tidak boleh terbelenggu untuk mengerti kekerasan hanya dari segi fisik. Ada banyak kekerasan psikologis pada manusia. Tidak hanya pemukulan, cidera, dan pembunuhan yang menimbulkan penderitaan somatic manusia, melainkan juga kekerasan psikologis seperti kebohongan sistematis, indoktrinasi, terror-teror berkal, ancaman-ancaman langsung atau tidak langsung yang melahirkan ketakutan dan rasa tidak aman.
b.   Kekerasan lewat Imbalan
Seseorang dipengaruhi dengan member imbalan. Orang yang mendapat imbalan mengalami kenikmatan atau euphoria. Akibatnya, orang tersebut tidak dapat vocal lagi, tidk boleh berbicara kritis. Taruhan mahal dimensi ini adalah kebebasan manusia. Ia trpaksa menjadi jinak. Ini juga satu bentuk kekerasan.
c.    Kekerasan tidak langsung
Contoh kekerasan tidak langsung adalah melempar batu ke rumah orang dan uji coba bom/nuklir. Dalam peristiwa ini, tetap ada kekerasan fisik dan psikologis. Meski kelihatannya tidak makan korban, namun hal itu tetap membatasi tindakan manusia dan membawa ketakutan. Dalam dua aksi ini kelihatannya tidak ada objek langsung manusia, namun dampaknya luas bagi manusia secara fisik dan psikologis.
d.   Kekerasan tersamar
Suatu kekerasan disebut kekerasan biasanya jika ada pelakunya. Jika tidak ada pelaku, kekerasan itu disebut kekerasan tersamar atau kekerasan structural. Dalam kekerasan biasa, kita mudah melacak pelakunya sedangkan dalam kekerasan structural sulit ditemukan pelakunya. Hal ini sering juga dikenal dengan istilah “black power”. Kondisi kekerasan structural yang kita temukan sering juga digelas sebagai “ketidakadilan social”.
e.   Kekerasan yang tidak disengaja
Kekerasan itu sengaja atau tidak sengaja, tetap sebuah kekerasan bai si korban. Karena itu, dari segi korban, misalnya mati atau cacat, maka kekerasan yang hanya dimengerti dari tolok ukur sengaja terlalu sempit dan melanggar rasa keadilan. Kekerasan yang tidak sengaja sering dihubungkan dengan kekerasan structural.
f.     Kekerasan tersembunyi (laten)
Kekerasan yang tampak, baik langsung maupun tidak langsung, mudah disimak dengan kasat mata. Namun, kekerasan yang tersembunyi dapat saja sewaktu-waktu meledak atau menunggu bom waktu. Contoh kekerasan dan kekejaman yang laten adalah system-sistem yang mengendalikan dan membelenggu kehidupan banyak orang seperti feodalisme, fundamentalisme, dan fanatisme.

2.   Wajah-Wajah Kekerasan
Enam dimensi kekerasan di atas ini dapat kit abaca dalam bentuk-bentuk kekerasan yang akhir-akhir ini hadir dalam skala frekuensi yang makin meningkat di Indonesia. Wajah-wajah kekerasan ini ternyata tidak hanya ditemukan di wilayah yang masuk kategori “high conflict area” seperti Aceh, Papua, Maluku, Poso, dan Ambon, melainkan juga mditemukan di wilayah-wilayah yang dikenal sebagai “non conflict area” seperti Lampung. Kita sadar bahwa wilayah yang bebas konflik sangat terbatas dan agak sulit ditemukan. Konflik dan kekerasan benar-benar konteks riil dinegeri kita.
a.      Kekerasan sosial
Kekerasan social adalah situasi diskriminatif yang mengucilkan sekelompok orang agar tanah atau harta milik mereka dapat dijarah dengan alas an “Pembangunan Negara”.
Payung pembangunan seperti sebuah tujuan yang boleh menghalalkan segala cara. Ada sekelompok orang atau wilayah tertentu yang sepertinya tanpa henti mengusung “stigma” dari penguasa. Stigmatisasi yang biasanya berlanjut dengan “marginalisasi” dan berujung pada “viktimasi”. Mereka yang mengusung stigma tertentu sepertinya layak ditertibkan, dibunuh, atau diperlakukan tidak manusiawi.
b.     Kekerasan Kultural
  Kekerasan cultural terjadi ketika ada pelecehan, penghancuran nilai-nilai budaya minoritas demi hegemoni penguasa. Kekerasan cultural sangat mengandaikan “stereotyp” dan prasangka-prasangka kultural. Dalam konteks ini, keseragaman dipaksakan, perbedaan harus dimusuhi, dan dilihat sebagai momok. Apa yang menjadi milik kebudayaan daerah tertentu dijadikan budaya nasional tanpa sebuah proses yang demokratis, dan budaya daerah lainnya dilecehkan.
c. Kekerasan etnis
  Kekerasan etnis berupa pengusiran atau pembersihan sebuah etnis karena ada ketakutan menjadi bahaya atau ancaman bagi kelompok terntentu. Suku tertentu dianggap tidak layak bahkan mencemari wilayah tertentu dengan berbagai alasan. Suku yang tidak disenangi harus hengkang dari tempat diam yang sudah menjadi miliknya bertahun-tahun dan turun-temurun.
d.     kekerasan Keagamaan
  Kekerasan keagamaan terjadi ketika ada “fanatisme, fundamentalisme, dan ekslusivisme” yang melihat agama lain sebagai musuh. Kekerasan atas nama agama ini umumnya dipicu oleh pandangan agama yang sempit atau absolute. Menganiaya atau membunuh penganut agama lain dianggap sebagai sebuah tugas luhur. Kekerasan atas nama agama sering berpijak pada gendering perang:”Allah harus dibela oleh manusia.”
e.     Kekerasan Gender
  kekerasan gender adalah situasi di mana hak-hak perempuan dilecehkan. Budaya patriarkhi dihayati sebagai peluang untuk tidak atau kurang memperhitungkan peranan perempuan. Kultur pria atau budaya maskulin sangat dominan dan kebangkitan wanita dianggap aneh dan mengada-ada. Perkosaan terhadap hak perempuan dilakukan secara terpola dan sistematis.
f. Kekerasan Politik
  Kekerasan politik adalah kekerasan yang terjadi dengan paradigm (sudut pandang) “politik adalah panglima”. Demokratisasi adalah sebuah proses seperti yang didektekan oleh penguasa. Ada ekonomi, manajemen, dan agama versi penguasa. Karena politik adalah panglima, maka paradigm politik harus diamankan lewat pendekatan keamanan. Semua yang berbicara vocal dan kritis harus dibungkam dengan segala cara termasuk  dengan cara isolasi atau penjara. Tidak ada partai oposisi dan kalau ada partai itu tidak lebih hanya sebagai boneka. Dalam konteks ini, “single majority” adalah sesuatu yang sangat ideal, indoktrinasi adalah sarana ampuh yang harus dilestarikan, system monopartai adalah kehendak Tuhan.
g.     Kekerasan Militer
  Kekerasan militer berdampingan dengan kekerasan politik. Kekerasan terjadi karena ada militerisasi semua bidang kehidupan masyarakat. Cara pandang dan tata nilai militer merasuk  ke dalam system social masyarakat. Dalam jenis kekerasan ini terjadi banyak sekali hal-hal seperti: pembredelan pers, larangan berkumpul, dan litsus sistematis. Pendekatan keamanan (security approach) sering diterapkan.
h.     Kekerasan terhadap anak-anak
  Anak-anak di bawah umur dipaksa bekerja dengan jaminan yang sangat rendah sebagai pekerja murah. Prostitusi anak-anak tidak ditanggapi, karena dilihat sebagai sumber nafkah bagi keluarga. Pendidikan yang tidak berdasar pada tumbuh kembang anak secara sehat.
i.     Kekerasan Ekonomis
  kekerasan ekonomis paling nyata ketika masyarakat yang sudah tidak berdaya secara ekonomis diperlakukan secara tidak manusiawi. Ekonomi pasar bebas dan bukannya pasar adil telah membawa kesengsaraan bagi rakyat miskin.
j.     Kekerasan Lingkungan Hidup
  Sebuah sikap dan tindakan yang melihat dunia dengan sebuah tafsiran eksploitatif. Bumi manusia tidak dilihat lagi secara akrab dan demi kehidupan manusia itu sendiri.

3.  Akar dari Konflik dan kekerasan
J  analisis “teori konflik” menemukan alasan kekerasan pada berbagai bentuk “perbedaan kepentingan” kelompok-kelompok masyarakat sehingga
J analisis “fungsional structural” berpendapat bahwa hamper semua kerusuhan berdarah di Indonesia disebabkan oleh disfungsi (tidak berfingsinya) sejumlah institusi social, terutama lembaga politik. Dalam hal ini Negara gagal menerapkan sebuah politik yang menunjang integritas Indonesia sebagai satu bangsa.
J fenomena seperti pecahnya otoritas pemerintah, buyarnya otoritas Negara, semakin intensifnya konflik etnis dan agama, pengungsi yang berjumlah puluhan juta, dan pembasmian etnis tertentu merupakan gejala-gejala yang mengancam integritas bangsa.
J Mungkin kesalahan yang paling besar yang dibuat pemerintah Indonesia sejak awal adalah menerima kesatuan Indonesia itu sebagai “taken for granted” sebagai barang yang sudah jadi. Padahal, kesatuan itu tidak dapat dilah secara paksa tetapi harus dibangun bersama-sama.
J kebijakan politis yang sentralistis di mana pemerintah sngat dominan dan sering menyamakan dirinya dengan Negara, pola relasi “pusat-pinggiran” dalam segala nuansanya boleh dianggap sebagai akar konflik berdarah seperti di Aceh, Papua, dan Sampit. Pusat menghendaki sentralisasi sedangkan daerah menuntut sebuah otonomi. Karena itu ada DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh dan penempatan banyak tentara di Papua.

Mendalami Pesan Kitab Suci dalam Hubungan dengan Konflik dan Kekerasan
(Matius 26: 47-56)
J Yesus bukan saja mengajak kita untuk tidak menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh, tetapi juga mencintai musuh-musuh dengan tulus. Yesus mengajak kita untuk mengembangkan budaya kasih dengan mencintai sesama,bahkan mencintai musuh (Luk 6:27-36).
JPesan Yesus untuk kita ini memang sangat radikal dan bertolak belakang dengan kebiasaan,kebudayaan dan keyakinan gigi ganti gigi yang kini sedang berlaku. Kasih yang berdimensi keagamaan sungguh melampaui kasaih manusiawi. Kasih keistiani tidak terbatas lingkungan keluarga karena hubungan darah;tidak terbatas pada lingkungan kekerabatan atau suku;tidak terbatas pada lingkungan daerah atau ideology atau agama. Kasih kristiani menjangkau  semua orang,sampai pada musuh –musuh kita.
JDasar kasih kristiani adalah keyakinan dan kepercayaan bahwa semua orang putra dan putri Bapa di surga.Dengan menghayati cinta demikian,kita meniru cinta Bapa di surge,yang member terang matahari dan curah hujan kepada semua orang (baik orang baik maupun orang jahat).
JMengembangkan budaya kasih untuk melawan budaya kekerasan memeang tidak mudah.Dalam kehidupan sehari-hari,kita merasa betapa sulitnya kita untuk berbuat baikdan mencintai orang yang membuat kita sakit hati.

MENGEMBANGKAN BUDAYA NON VIOLENCE DAN BUDAYA KASIH
1. USAHA-USAHA MEMBANGUN BUDAYA KASIH SEBELUM TERJADI KONFLIK DAN KEKERASAN
a. Dialog dan komunikasi supaya dapat lebih saling memahami kelompok lain. Kita sering memiliki asamsi-asumsi dan pandangan yang keliru tentang kelompok lain. Kalau diadakan komunikasi yang jujur dan tulus segala prasangka buruk dapat diatasi.
b. Kerja sama atau membentuk  jaringan lintas batas untuk memperjuangkan kepentingan umum yang sebenarnya menjadi opsi bersama. Rasa senasib dan seperjuangan dapat lebih mengaakrabkan kita satu sama lain.

2. USAHA-USAHA MEMBANGUN BUDAYA KASIH SETELAH TERJADI KONFLIK DAN KEKERASAN
V Langkah Pertama:   Konflik/kekerasan itu perlu dicertikan kembali oleh yang menderita. Kekerasan bukanlah sesuatu yang abstrak/impersonal melainkan personal,pribadi,maka perlu dikisahkan kembali.Upaya kita seringkali gagal karena kita memilikimtitik tolak yang salah yaitu menganjurkan agar orang melupakan semua masa lampau. Sikap ini melecehkan dan tidak menghormati para korban dan hal itu berarti mengingkari nilai manusia itu sendiri. Satu unsur penting dalam tahap ini adalah bahwa rekonsiliasi menuntut pengungkapan kembali kebenaran,karena “kebenaran memerdekakan”(Yoh 8:32). Hal ini tidak mudah karena pengungkapan jujur sering dapat membangkitkan emosi balas dendam. Namun kisah masa lampau yang tidak dihadapi dengan sungguh akann kembali menghantui kehidupan masa datang. Menceritakan kebenaraan akan sangat membantu proses selanjutnya,yaitu mengakuimkesalahan dan pengampunan.
V  Langkah Kedua: Mengakui kesalahan dan memeinta maaf serta penyesalan dari pihak atau mkelompok yang melakukan kesalahan atau penyebab konflik kekerasan. Pengakuan ini harus dilakukan secara public dan terbuka,sebuah pengakuan yang jujur tanpa mekanisme bela diri. Pengakuan yang jujur harus mengindarkan sikap memaafkan diri atau hanya sekedar ungkapan rasa bersalah melulu,melainkan sebuah sikap ikhlas menerima diri dengan segala keterbatasannya. Termasuk dalam pengakuan salah dan minta maaf ini adalah kesalahan seperti curiga,pandangan salah,atau prasangka-prasangka terhadap kelompok lain sebagai akar masalah memicu konflik berdarah. Semua beban sejarah yang membelenggu seseorang/kelompok harus dpt diungkapkan secara transparan. Dng.cara itu,kita dpt dibebaskan dan antara kita terjadi sebuah kisah baru. Tindakan meminta maaf adalah tindakan dua pihak dalam gerakan menuju rekonsiliasi. Dalam pengakuan kesalahan, orang mengalami keterbatasannya.  Pengalaman keterbatasan membuka kemungkinan bagi manusia untuk berharap dan menantikan petunjuk dan jalan keluar yang diberikan oleh pihak ketiga, pihak luar.
V Langkah Ketiga: Pengampunan oleh korban kepada yang melakukan kekerasan.
  Kata pengampunan dan rekonsiliasi akhir-akhir ini sering disalahtafsirkan. Mengampuni berarti melupakan atau jangan lagi mengungkit kesalahan masa lampau. Padahal justru sebaliknya:”Ingatlah dan ampunilah”. Dalam rekonsiliasi itu, kita harus tahu apa yang harus kita ampuni dan siapa yang harus mendapat pengampunan.
V  Langkah Keempat: Rekonsiliasi
  Rekonsiliasi adalah pembaharuan. Membutuhkan proses menuju rekonsiliasi, tidak ada jalan pintas. Martabat para koraban kekerasan, misalnya, tidak dapat dipulihkan hanya dengan sebuah permohonan maaf saja. Perdamaian murahan tidak akan bertahan lama. Rekonsiliasi itu mahal. Para pelaku kejahatan butuh waktu untuk menerima diri sendiri dan para koraban juga butuh waktu untuk merangkul pelaku kejahatan dengan rasa kemanusiaan.
  Masa ini adalah saat berjuang agar para korban tidak menjadi pelaku kekerasan karena balas dendam. Menolak pengampunan berarti membelenggu diri dalam masa lampau dan kita kehilangan diri sendiri. Martabat para koraban ingin dipulihkan, namun tidak boleh tenggelam pada peristiwa masa lampau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar