sebuah refleksi dari kegelisahan setelah diskusi dengan banyak teman
Dalam konteks pendidikan formal,
termasuk di lingkungan sekolah Katolik, pelajaran agama Katolik sering kali
dipandang sebelah mata. Tidak sedikit siswa yang menganggapnya sebagai
pelajaran "ringan" yang tidak perlu usaha serius. Bahkan lebih memprihatinkan,
di sejumlah sekolah Katolik sendiri, pelajaran agama kadang dianggap sekadar
pengisi jadwal, bukan bagian integral dari misi pendidikan. Salah satu gejala
mencolok adalah penempatan guru agama Katolik yang tidak memiliki latar
belakang pendidikan teologi atau kateketik. Asal guru tersebut beragama
Katolik, ia dianggap “cukup” untuk mengajar iman. Pandangan ini sangat
mereduksi makna pendidikan agama dan memperlihatkan krisis pemahaman akan
identitas sekolah Katolik itu sendiri.
Sekolah Katolik: Bukan Sekadar
Lembaga Pendidikan
Gereja secara tegas menyatakan
bahwa sekolah Katolik bukan hanya tempat mentransfer pengetahuan, tetapi adalah
bagian dari misi penginjilan. Konsili Vatikan II dalam dokumen Gravissimum
Educationis (art 8) menulis: “Sekolah Katolik menanamkan pendidikan bukan
hanya sebagai pengembangan pribadi, tetapi juga sebagai persekutuan dengan
Kristus. Di dalamnya, iman dan budaya dipadukan dalam terang Injil.” Sekolah
Katolik seharusnya mengintegrasikan iman dalam seluruh kehidupan sekolah bukan
hanya dalam pelajaran agama, tetapi juga dalam relasi, kebijakan, dan cara
mendidik. Maka, jika pelajaran agama dipinggirkan atau dianggap remeh, yang
terjadi bukan hanya kegagalan kurikulum, tetapi juga pengkhianatan terhadap
identitas sekolah Katolik itu sendiri.
Pendidikan Iman: Mandat Kitab
Suci
Dalam perjanjian lama Ulangan
6:6-7, dikatakan bahwa: “Apa yang Kuperintahkan kepadamu hari ini haruslah
engkau ajarkan berulang-ulang kepada anak-anakmu...” Pengajaran iman bukan
tugas sambilan, melainkan mandat yang serius dan suci. Dalam Matius 28:19-20,
Yesus berkata, “Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu.” Hal ini menegaskan bahwa, pendidikan iman di sekolah
bukan sekadar teori, tetapi pewarisan hidup Kristiani. Maka, menempatkan guru
agama yang tidak memiliki kompetensi teologis dan pastoral adalah mengabaikan
tanggung jawab pewartaan.
Tantangan Nyata di Sekolah
Katolik
Fakta di lapangan membuktikan
bahwa banyak sekolah Katolik mengalami kekurangan guru agama yang memiliki
latar belakang pendidikan teologi atau katekese. Media seperti Katoliknews.com
dan Kompas.com mencatat bahwa banyak sekolah Katolik di Indonesia kekurangan
guru agama yang kompeten. Ini berdampak langsung pada mutu pewartaan iman dan
pembinaan rohani siswa.
dalam Directory for Catechesis
(2020) secara tegas menyatakan: “Guru agama Katolik bukan hanya pengajar
materi, tetapi saksi iman dan teman rohani yang mendampingi murid dalam
pertumbuhan imannya.” (art 113) Sayangnya, pemahaman ini belum merata di banyak
yayasan pendidikan Katolik. Bahkan, ada sekolah Katolik yang lebih mementingkan
nilai akademik dan reputasi institusi daripada kesetiaan pada misi Gereja.
Panggilan Profetis untuk
Sekolah Katolik
Dalam Efesus 4:11-12, Rasul
Paulus menulis bahwa Kristus memberikan “pengajar-pengajar, untuk
memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan
tubuh Kristus.” Maka, tidak semua orang bisa begitu saja menjadi pengajar iman
hanya karena beragama Katolik. Diperlukan formasi iman, pengetahuan teologis,
dan kesaksian hidup. Paus Fransiskus
dalam dokumen Christus Vivit (art 221) mengingatkan: “Setiap institusi
pendidikan Katolik harus menjadi tempat di mana iman dihidupi secara otentik
dan bukan hanya diajarkan secara teoritis.”
Maka, sudah saatnya sekolah
Katolik menempatkan kembali pelajaran agama sebagai jantung pendidikan, bukan
sebagai pinggiran. Memilih guru agama yang memiliki formasi teologi bukan soal
"elitisme akademik", tetapi tanggung jawab terhadap keselamatan
jiwa-jiwa muda yang dipercayakan kepada kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar