SILAHKAM KLIK DISINI UNTUK APLIKASI MODUL AGAMA
BAB I
Manusia Makhluk Pribadi
A.
Aku
Pribadi yang Unik
Setiap manusia itu unik (unique/ Inggris atau unus/
latin = satu), tak ada satu orang pun yang mempunyai kesamaan dengan orang
lain. Bahkan manusia kembar sekalipun selalu mempunyai perbedaan. Perbedaan itu
lebih jauh dan lebih dalam dari yang dapat dilihat, dirasa, didengar dan
dikatakan. Pada umumnya perbedaan ini yang membuat orang iri hati,
bertentangan, bermusuhan dan ingin saling meniadakan. Padahal dengan perbedaan
itu justru orang dapat saling memperkaya dan melengkapi. Perbedaan itulah yang
menjadi keunikan setiap manusia.
Keunikan itu bisa diamati dari
hal-hal fisik, psikis, bakat/ kemampuan serta pengalaman-pengalaman yang
dimilikinya. Keunikan diri itu merupakan anugerah yang menjadikan diri
seseorang berbeda dan dapat dikenal dan diperlakukan secara khusus pula. Untuk
mengatasi perbedaan itu, diperlukan sikap menerima diri apa adanya Jabatan
dalam keorganisasian dapat digantikan oleh orang lain, tetapi kedudukan setiap
manusia dalam seluruh kerangka ciptaan tidak dapat digantikan oleh orang lain.
Peran orang tua dalam keluarga dapat saja digantikan oleh orang lain, tetapi
peran sebagai ciptaan tidak mungkin digantikan oleh siapapun.
Tuhan menciptakan setiap manusia
dengan tugas yang khas di dunia ini. Orang yang bersikap positif akan menerima
keunikan itu sebagai anugerah, ia bangga bahwa dirinya berbeda, ia bersyukur
bahwa apa pun yang ada pada dirinya merupakan pemberian Tuhan yang baik adanya.
Dengan demikian, ia tidak akan minder, ia tidak berniat menjadi sama seperti
orang lain, ia tidak akan menganggap dirinya tidak berharga, ia tidak akan
melakukan tindakan yang melawan kehendak Tuhan akibat ketidakpuasan terhadap
dirinya, hidupnya akan tenang dan mampu bergaul dengan siapa saja. Ada orang
yang kurang menerima keunikan diri. Orang yang demikian akan merasa tidak puas,
bahkan dapat melakukan tindakan apa pun demi menutupi keterbatasan diri,
misalnya operasi plastik. Orang yang demikian sering beranggapan seolah
penampilan luar lebih penting.
Singkatnya, manusia adalah
makhluk yang indah dan “istimewa”. Keistimewaan dan keagungan manusia ini
hendaknya sungguh disadari oleh semua peserta didik. Sebagai orang beriman
kristiani yang sungguh-sungguh ingin semakin memahami, menerima, bangga, dan
percaya diri, Yesus adalah teladan yang paling utama dan pertama. Dari semula
Ia menyadari diri sebagai manusia yang berbeda dengan yang lainnya. Dari cara
berpikir, bersikap dan bertindak, Ia tidak ragu menunjukkan diri sebagai
pribadi yang tidak sama dengan yang lainnya. Sebagai seorang pribadi kita harus
menyadari, mengerti dan menerima diri apa adanya. Dengan demikian kitapun akan
dapat semakin mengembangkan diri dan melakukan sesuatu dengan kesadaran diri
(self-consciousness), penerimaan diri (self-acceptance), kepercayaan diri
(self-confidence) dan perasaan aman diri (selfassurance) yang tinggi. Dengan
dasar itu kita dapat mengisi hidup, meraih cita-cita dan melaksanakan panggilan
Allah.
Menerima diri merupakan proses
yang tidak mudah. Banyak remaja yang seringkali tergoda untuk merasa tidak puas
dengan dirinya sendiri. Ketika melihat temannya lebih kaya, ada remaja yang
berpikir: mengapa saya dilahirkan dalam keluarga yang miskin? Ketika melihat
orang lain berkulit putih, ada remaja yang berfikir: mengapa saya dilahirkan
dengan kulit kusam? Ketika melihat temannya berhidung mancung, ada remaja yang
berpikir: mengapa saya dilahirkan dengan hidung pesek? Melihat temannya pintar
dalam pelajaran tertentu, ada remaja yang berpikir: mengapa saya tidak sepandai
dia?
Mereka yang masih berpikir
seperti itu, rupanya belum menyadari; bahwa untuk hal-hal tertentu, khususnya
yang bersifat fisik-jasmaniah, apa yang melekat dalam diri kita sangat
dipengaruhi oleh faktor keturunan dan faktor lingkungan. Mereka lupa, bahwa
banyak orang kaya juga tidak bahagia, banyak orang cantik atau tampan juga
tidak sukses; sebaliknya banyak orang dengan wajah biasa (bahkan kurang
menarik) dari keluarga miskin sekalipun bisa sukses dan dihargai banyak orang.
Sikap tidak menerima diri bisa
menumbuhkan sikap iri, ingin menjadi seperti orang lain, dan akhirnya
menghalalkan segala cara. Kasus remajaremaja di Korea Selatan yang melakukan
operasi plastik merupakan salah satu contohnya. Tetapi apa yang mereka lakukan
bukan jaminan untuk bisa hidup bahagia.
Maka pertanyaan yang paling mendasar untuk
direfleksikan adalah: nilai apa yang dapat menentukan kebahagiaan kalian?
Apakah nilai seseorang ditentukan oleh kecantikan atau ketampanan? oleh hidung
yang mancung? atau oleh sikap dan perilaku serta keteladanan hidup?
Ajaran Kitab Suci Tentang Keunikan Diri (Kej 1:
26-31)
Waktu menciptakan manusia, Allah merencanakan dan
menciptakannya menurut gambar dan rupa-Nya. Menurut citra-Nya. (Kej 1:26)
Waktu menciptakan manusia, Allah seolah-olah perlu
“bekerja” secara khusus. “Tuhan Allah membentuk manusia dari debu dan tanah dan
menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya” (Kej 2:7).
Segala sesuatu, termasuk taman Firdaus, diserahkan
oleh Allah untuk manusia (Kej 1:26).
Bukankah manusia itu istimewa? Tuhan memperlakukan
manusia secara khusus. Manusia sudah dipikirkan dan direncanakan oleh Allah
sejak keabadian. Kehadiran manusia di muka bumi telah disiapkan dan diatur
secara teliti dan mengagumkan. Manusia sungguh diperlakukan sebagai “orang”,
sebagai pribadi, “seperti” Tuhan sendiri. Betapa uniknya kita manusia ini!
Sebagai orang beriman kristiani
yang sungguh-sungguh ingin semakin memahami, menerima, bangga, dan percaya
diri, Yesus adalah teladan yang paling utama dan pertama. Dari semula Ia
menyadari diri sebagai manusia yang berbeda dengan yang lainnya. Dari cara
berpikir, bersikap dan bertindak, Ia tidak ragu menunjukkan diri sebagai
pribadi yang tidak sama dengan yang lainnya. Sebagai seorang pribadi kita harus
menyadari, mengerti dan menerima diri apa adanya. Dengan demikian kita pun akan
dapat semakin mengembangkan diri dan melakukan sesuatu dengan kesadaran diri
(self-consciousness), penerimaan diri (self-acceptance), kepercayaan diri
(self-confidence) dan perasaan aman diri (self-assurance) yang tinggi. Dengan
dasar itu kita dapat mengisi hidup, meraih cita-cita dan melaksanakan panggilan
Allah.
Menghayati Keunikan Diri
Setiap orang adalah pribadi yang unik, tidak ada
duanya. Meskipun mereka kembar dalam satu rahim, mereka tetap berbeda satu
dengan yang lain.
Ciri fisik, sifat, cara berpikir, dan pengalaman
keberhasilan, serta kegagalan membentuk keunikan setiap pribadi, selain latar
belakang keluarga yang sangat mempengaruhi.
Setiap orang adalah pribadi yang unik, yang
memiliki kekhasan tersendiri dalam menghayati keberadaan dirinya dan menghayati
hidupnya. Satu dengan yang lain tidak pernah sama.
Sumber sejati keunikan pribadi manusia adalah Allah
sendiri, yang telah menciptakan manusia secara khusus, pribadi demi pribadi
secara ajaib.
Manusia adalah suatu “karya seni”, suatu
“masterpiece” dari Allah yang luar biasa. Singkatnya diri anda adalah pribadi
yang indah dan istimewa
B. Mengembangkan
Karunia Allah
Orang muda seringkali tidak menyadari
kemampuan-kemampuan dan talenta yang ada dalam diri mereka, di lain pihak
merekapun sulit menerima keterbatasanketerbatasannya. Hal ini mungkin tidak
bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan, di mana mereka diperlakukan sebagai
anak-anak. Akibatnya mereka tidak bisa mengembangkan diri secara maksimal.
Dalam pembahasan ini kita diajak untuk menyadari
bahwa setiap manusia adalah unik dan diberikan kemampuan dan potensi yang
berbeda-beda. Sebagai kaum beriman patutlah kita bersyukur kepada Tuhan dengan
cara mengembangkan bakat dan kemampuan dengan sebaik-baiknya. Keunggulan diri
berkaitan dengan bakat dan kemampuan hendaknya tidak membuat setiap orang
merasa lebih unggul dari yang lain, sehingga dapat memunculkan sikap sombong
dan arogan. Demikian halnya dengan keterbatasan yang ada tidak membuat orang
menjadi rendah diri, minder atau bahkan merasa menjadi orang yang tidak
berguna.
Menurut Aristoteles, manusia akan bahagia jika ia
secara aktif merealisasikan bakat-bakat dan potensinya. Manusia adalah makhluk
yang mempunyai banyak potensi, tetapi potensi-potensi itu akan menjadi nyata
jika kita merealisasikannya. Kebahagiaan tercapai dalam mempergunakan atau
mengaktifkan bakat dan kemampuannya.
Setiap orang mempunyai kemampuan dan bakat-bakat
dalam ukuran tertentu. Kemampuan dan bakat yang dimiliki seseorang seharusnya
dikembangkan dan digunakan. Kemampuan dan bakat adalah anugerah Tuhan, yang
dalam Kitab Suci sering disebut talenta. Tuhan menghendaki agar talenta itu
dikembangkan dan digunakan. Dalam Injil Matius 25:14-30, dikisahkan tentang
seorang tuan yang memanggil hamba-hambanya dan memberi mereka sejumlah talenta
untuk “dikembangkan” dan “digunakan”.
Setiap orang, termasuk para remaja diberi talenta
oleh Tuhan. Mereka harus mengembangkan dan menggunakan talenta itu sebagaimana
mestinya. Mengembangkan dan menggunakan talenta sebagaimana mestinya adalah
panggilan dan tuntutan Kristiani. Allah memberikan kemampuan dan talenta yang
berbeda kepada setiap orang dan kemampuan itu hendaklah digunakan dengan
sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama. Yesus memberikan gambaran seorang
tuan yang memberikan talenta kepada hamba-hambanya. (Matius 25:14 – 30). Iapun
menindak tegas kepada seorang hamba yang tidak mau mengembangkan talenta dan
hanya memendamnya ke dalam tanah.
Pada dasarnya setiap manusia dianugerahi oleh Tuhan
dengan berbagai kemampuan walaupun dengan kadar yang berbeda antarsatu dengan
yang lain. Orang yang pandai dalam pelajaran matematika belum tentu terampil
dalam olahraga, orang yang pandai bernyanyi belum tentu pandai juga dalam
olahraga. Orang yang pandai dalam pelajaran IPA belum tentu pandai
bersosialisasi dengan teman. Tidak ada orang yang pandai dan terampil dalam
segala hal.
Kenyataan semacam ini seharusnya menyadarkan setiap
orang bahwa di satu pihak setiap manusia mempunyai kemampuan, tetapi di lain
pihak dia mempunyai keterbatasan. Maka tugas setiap orang adalah menemukan apa
yang menjadi kemampuannya, serta menemukan juga keterbatasannya.
Sikap yang bijaksana dalam menghadapi kemampuan dan
keterbatasan antara lain: kemampuan sebagai anugerah Tuhan, diharapkan tidak
menjadikan seseorang menjadi sombong atau takabur; Kemampuan harus
ditingkatkan, dilatih terus menerus agar semakin berkembang dan dapat dijadikan
andalan hidup. Sebaliknya keterbatasan jangan sampai membuat orang minder;
menganggap hidup sebagai nasib buruk dari Tuhan atau merasa hidupnya tidak
berguna. Kelemahan atau keterbatasan harus disadari dan diatasi agar tidak
menjadi hambatan untuk memperkembangkan diri.
Mentalitas yang perlu dikembangkan: sikap mau
bekerja keras, mau belajar dari orang lain, tidak cepat menyerah, optimis, mau
mencoba, dan sebagainya.
Banyak orang sukses justru setelah ia menyadari
keterbatasannya, seperti nampak dalam kisah Lena Maria. Banyak tokoh sukses
yang berasal dari keluarga miskin. Tetapi kemiskinan itu menumbuhkan tekad untuk
menunjukkan bahwa orang miskinpun dapat sukses. Ia tidak mau orang lain
melecehkan dirinya karena miskin. Ia ingin orang lain juga menghargai dirinya
sebagai pribadi yang bermartabat. Itulah sebabnya dia belajar dengan keras dan
meraih prestasi yang gemilang.
Pesan Kitab Suci Tentang Panggilan Mengembangkan
Anugerah (Mat 25: 14-30)
Yesus memberikan gambaran seorang tuan yang
memberikan talenta kepada hamba-hambanya. (Matius 25: 14 – 30). Iapun menindak
tegas kepada seorang hamba yang tidak mau mengembangkan talenta dan hanya
memendamnya ke dalam tanah.
Setiap orang diberi talenta oleh Tuhan. Mereka
harus mengembangkan dan menggunakan talenta itu sebagaimana mestinya.
Mengembangkan talenta sebagaimana mestinya adalah panggilan dan tuntutan orang
beriman kristiani.
Kita harus mengembangkan bakat yang kita miliki,
karena Tuhan telah memberikan talenta kepada manusia ciptaan-Nya, sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki manusia masing-masing.
Kita harus seperti hamba yang pertama dan hamba
yang kedua yang mengembangkan talenta yang mereka punya dengan baik.
Kita tidak boleh mencontoh hamba yang ketiga, yang
hanya mengubur talentanya, tanpa berusaha untuk mengembangkannya.
Allah akan sedih dan kecewa karena kita hanya
memendam bakat yang kita miliki. Terlebih kita merasa iri hati terhadap
kemampuan yang orang lain miliki. Allah memberikan masing-masing talenta kepada
umat-Nya, dan talenta itu harus kita syukuri, serta kita kembangkan.
C. Kesetaraan
Laki-lak dan Perempuan
Pada usia remaja, seseorang mengalami pertumbuhan
jasmaniah dan rohaniah yang sangat besar. mereka mengalami adanya
dorongan-dorongan dan daya-daya tertentu dalam dirinya, khususnya daya tarik
terhadap lawan jenisnya. Daya tarik terhadap lawan jenis ini sering belum
disadari secara penuh oleh para remaja sebagai hal yang luhur, indah, wajar,
dan manusiawi. Ketidaktahuan dan ketidaksadaran akan adanya dorongan dan daya
tarik terhadap lawan jenis ini dapat menyebabkan remaja tidak pandai
menempatkan diri dalam pergaulan antarjenis. Bahkan, pergaulan antarjenis di
kalangan para remaja sering “menyimpang”. Karena itulah, para remaja memerlukan
bimbingan agar mereka memiliki pengetahuan dan kesadaran yang memadai tentang
hakikat kepriaan dan kewanitaan serta daya tarik terhadap lawan jenisnya.
Dengan demikian, para remaja dapat menghargai dirinya sendiri dan lawan
jenisnya (pria dan wanita) sebagai ciptaan Tuhan yang indah, luhur, dan suci.
Dalam pembahasan ini peserta didik akan diajak
untuk menyadari bahwa lakilaki dan perempuan diciptakan semartabat dan
sederajat. Keduanya diciptakan menurut citra Allah: diciptakan menurut gambar
dan rupa Allah yang satu dan sama (Kejadian 1, 26 -27). Lebih dari itu, mereka
dianugerahi kepercayaan dan kesempatan yang sama untuk mengambil bagian dalam
karyaNya yang agung. Mereka dipanggil untuk membangun persekutuan (communio)
dan bekerja sama dalam pengelolaan dunia dan seisinya serta pelestarian
generasi umat manusia (Kejadian 1, 31).
Laki-laki dan perempuan saling melengkapi. Sifat
korelatif itu sangat jelas dalam bentuk pria dan wanita. Tetapi juga kelihatan
dalam seluruh kemanusiaannya, seperti: perasaan, cara berpikir, dan cara
menghadapi kenyataan, termasuk Tuhan. Tuhan mengatakan: “Tidak baik, kalau
manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang
sepadan dengan dia” (Kejadian 2: 18).
Laki-laki dan perempuan diciptakan bukan
pertama-tama sebagai tuan dan hamba atau atasan dan bawahan, tetapi rekan yang
sepadan. Tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada keduanya sama. Nilai
karya dan peran mereka pada karya Allah pada umumnya tidak berbeda: tidak ada
yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Sabda Allah yang berbunyi:
“Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita…”(Kejadian 1, 26)
dan “…yang dijadikanNya itu sungguh amat baik” (Kejadian 1, 31) menunjukkan
perbedaan manusia dengan ciptaan lain. Sabda itu menunjukkan keistimewaan
mereka sebagai laki-laki dan perempuan di antara semua ciptaan, bukan perbedaan
mereka sebagai laki-laki dan perempuan.
Dalam Kitab Kejadian juga diceritakan bahwa pria
dan wanita merupakan ciptaan Tuhan yang paling indah. Pria dan wanita
diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi, untuk menjadi teman hidup. Pria saja
tidaklah lengkap. Allah sendiri berkata: “Tidaklah baik, kalau manusia itu
seorang diri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya, yang sepadan
dengan dia” (Kejadian 2: 18). Untuk menyatakan bahwa wanita sungguh-sungguh
merupakan kesatuan dengan pria, maka Tuhan menciptakan wanita itu bukan dari
bahan lain, tetapi dari tulang rusuk pria itu. Maka, pria itu kemudian berkata
tentang wanita itu demikian: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku” (Kejadian 2: 23). Dari kutipan Kitab Suci ini jelaslah bahwa hubungan
pria dan wanita adalah hubungan yang suci dan sepadan.
Ajaran Kitab Suci Tentang Kesetaraan Laki-laki
dan Perempuan (Kej 2: 18-23)
Menghayati Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan
Banyak orang bila berbicara tentang kesederajatan
antara perempuan dan laki-laki, sering terbatas pada masalah pembagian tugas
atau fungsi. Maka banyak orang begitu yakin, bahwa kepala keluarga itu harus
seorang bapak. Sekalipun sang bapak itu pengangguran dan yang berjuang
matimatian mencari nafkah sang istri, tetap saja bapak yang kepala keluarga.
Ibu bertugas beres-beres rumah, dan sebagainya.
Banyak laki-laki ketika berbicara soal
kesederajatan, lebih berfokus pada apa yang seharusnya seorang perempuan
perbuat baginya. Dan sebaliknya, perempuan berpikir apa yang seharusnya
laki-laki perbuat baginya. Selama manusia berpikir seperti itu, maka
kesederajatan sulit diwujudkan.
Sebaliknya kesederajatan akan terwujud bila orang
berpikir secara baru. Pikiran baru itu adalah ketika laki-laki mampu berkata:
perempuan diciptakan Tuhan sebagai penolong saya, berarti dia(perempuan) itu
adalah bukti cinta Tuhan pada saya. Tuhan menghendaki saya berkembang lewat
bantuan dia, maka saya akan menghormati dan melakukan apapun yang terbaik bagi
dia. Bila saya menghormati dan mengasihi dia, saya pun mencintai Tuhan.
Demikian pula sebaliknya: perempuan berkata: Saya telah diciptakan Tuhan sebagai
penolong dia, maka saya akan menghormati dan melakukan apa saja yang terbaik
bagi dia, sebab hal itu merupakan wujud saya mengasihi Tuhan.
Pikiran-pikiran semacam itu dapat diwujudkan
melalui contoh berikut: Remaja laki-laki tidak akan merasa gengsi bila terbiasa
mau membantu keluarga mencuci piring atau masak.
Panggilan Tuhan atas laki-laki atau perempuan
adalah: masing-masing berkembang dan memperkembangkan diri menjadi laki-laki
sejati dan perempuan sejati.
D. Keluhuran
Manusia Sebagai Citra Allah
Dewasa ini banyak terjadi pelanggaran terhadap
martabat kemanusiaan. Di berbagai tempat terjadi kekerasan yang diakibatkan
dari sikap fanatik dan diskriminatif ras, suku, agama, budaya, dan kelompok
sosial. Sikap ini dapat menjalar pada siapa saja, tidak terkecuali orang muda.
Oleh karena itu, mereka perlu disadarkan bahwa sikap tersebut dapat melahirkan
berbagai kekerasan dan tindakan anarkis yang sungguh merusak dan sangat melukai
martabat manusia sebagai citra Allah.
Sebagai sesama citra Allah, setiap manusia adalah
bersaudara. harus saling menghormati dan saling mengasihi. Sikap ini seperti
yang digambarkan Yesus dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati.
Dalam perumpamaan itu dikisahkan bagaimana orang Samaria yang baik hati itu telah
memperlakukan orang Yahudi yang mendapat bencana di jalan seperti saudaranya
sendiri, bahkan lebih dari itu.
Dalam Kitab Kejadian 1: 26-27 dikisahkan demikian:
Berfirmanlah Allah: “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa
Kita supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara
dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang
merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut
gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya
mereka”. Dalam kutipan Kejadian 1: 26-27 ini jelas dinyatakan bahwa manusia
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, tentang makhluk-makhluk yang lain
tidak dikatakan seperti itu.
Tokoh-Tokoh Membela dan Memperjuangkan Keluhuran
Martabat Manusia.
1) Mahatma Gandhi
Mohandas Karamchand Gandhi biasa dipanggil Mahatma
Gandhi (bahasa Sanskerta: “jiwa agung”) adalah seorang pemimpin spiritual dan
politikus dari India.
Pada masa kehidupan Gandhi, banyak negara yang merupakan
koloni Britania Raya. Penduduk di koloni-koloni tersebut mendambakan
kemerdekaan agar dapat memerintah negaranya sendiri.
Gandhi adalah salah seorang yang paling penting
yang terlibat dalam gerakan Kemerdekaan India. Dia adalah aktivis yang tidak
menggunakan kekerasan, yang mengusung gerakan kemerdekaan melalui aksi
demonstrasi damai.
Gandhi lahir pada 2 Oktober 1869 di negara bagian
Gujarat di India. Beberapa dari anggota keluarganya bekerja pada pihak
pemerintah. Saat remaja, Gandhi pindah ke Inggris untuk mempelajari hukum.
Setelah dia menjadi pengacara, dia pergi ke Afrika Selatan, sebuah koloni
Inggris, di mana dia mengalami diskriminasi ras yang dinamakan apartheid. Dia
kemudian memutuskan untuk menjadi seorang aktivis politik agar dapat mengubah
hukum-hukum yang diskriminatif tersebut. Gandhi pun membentuk sebuah gerakan
non-kekerasan.
Ketika kembali ke India, dia membantu dalam proses
kemerdekaan India dari jajahan Inggris; hal ini memberikan inspirasi bagi
rakyat di koloni-koloni lainnya agar berjuang mendapatkan kemerdekaannya dan
memecah Kemaharajaan Britania untuk kemudian membentuk Persemakmuran.
Rakyat dari agama dan suku yang berbeda yang hidup
di India kala itu yakin bahwa India perlu dipecah menjadi beberapa negara agar
kelompok yang berbeda dapat mempunyai negara mereka sendiri. Banyak yang ingin
agar para pemeluk agama Hindu dan Islam mempunyai negara sendiri. Gandhi adalah
seorang Hindu namun dia menyukai pemikiranpemikiran dari agama-agama lain
termasuk Islam dan Kristen. Dia percaya bahwa manusia dari segala agama harus
mempunyai hak yang sama dan hidup bersama secara damai di dalam satu negara.
Pada 1947, India menjadi merdeka dan pecah menjadi
dua negara, India dan Pakistan. Hal ini tidak disetujui Gandhi.
Prinsip Gandhi, satyagraha, sering diterjemahkan
sebagai “jalan yang benar” atau “jalan menuju kebenaran”, telah menginspirasi
berbagai generasi, aktivis-aktivis demokrasi, dan anti-rasisme seperti Martin
Luther King, Jr. dan Nelson Mandela. Gandhi sering mengatakan kalau nilai-nilai
ajarannya sangat sederhana, yang berdasarkan kepercayaan Hindu tradisional:
kebenaran (satya), dan non-kekerasan (ahimsa).
Pada 30 Januari 1948, Gandhi dibunuh seorang lelaki
Hindu yang marah kepada Gandhi karena ia terlalu memihak kepada Muslim.
2) Ibu Teresa
Bunda Teresa (Agnes Gonxha Bojaxhiu); lahir di
Üsküb, Kerajaan Ottoman, 26 Agustus 1910 – meninggal di Kalkuta, India, 5
September 1997 pada umur 87 tahun) adalah seorang biarawati Katolik Roma
keturunan Albania dan berkewarganegaraan India yang mendirikan Misionaris Cinta
Kasih (bahasa Inggris: Missionaries of Charity) di Kalkuta, India, pada tahun
1950. Selama lebih dari 45 tahun, ia melayani orang miskin, sakit, yatim piatu
dan sekarat, sementara membimbing ekspansi Misionaris Cinta Kasih yang pertama
di seluruh India dan selanjutnya di negara lain. Setelah kematiannya, ia
diberkati oleh Paus Yohanes Paulus II dan diberi gelar Beata Teresa dari
Kalkuta.
Pada 1970-an, ia menjadi terkenal di dunia
internasional untuk pekerjaan kemanusiaan dan advokasi bagi hak-hak orang
miskin dan tak berdaya. Misionaris Cinta Kasih terus berkembang sepanjang
hidupnya dan pada saat kematiannya, ia telah menjalankan 610 misi di 123
negara, termasuk penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, lepra, dan TBC,
program konseling untuk anak dan keluarga, panti asuhan, dan sekolah.
Pemerintah, organisasi sosial dan tokoh terkemuka telah terinspirasi dari
karyanya, namun tak sedikit filosofi dan implementasi Bunda Teresa yang
menghadapi banyak kritik. Ia menerima berbagai penghargaan, termasuk
penghargaan pemerintah India, Bharat Ratna (1980) dan Penghargaan Perdamaian
Nobel pada tahun 1979. Ia merupakan salah satu tokoh yang paling dikagumi dalam
sejarah. Saat peringatan kelahirannya yang ke-100 pada tahun 2010, seluruh
dunia menghormatinya dan karyanya dipuji oleh Presiden India, Pratibha Patil.
http://id.wikipedia.org/wiki/Bunda_Teresa
3) YB. Mangunwijaya
Sebagai seorang tokoh agama yang peduli pada nasib
rakyat kecil, ia tak lelah membela hak-hak kaum yang tertindas. Seperti saat
masyarakat Kedungombo menggugat penggusuran tanah mereka tanpa ganti rugi yang
berarti karena di tanah yang akan mereka tempati akan dibuat sebuah waduk. Pada
5 Juli 1994, Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan tuntutan kasasi 34 warga
Kedungombo dengan ganti rugi yang cukup besar. Namun niat baik rupanya tidak
selalu ditanggapi dengan baik. Romo Mangun yang setia melakukan pendampingan
sejak tahun 1986 itu justru dituding berusaha melakukan Kristenisasi. Mendapat
tudingan itu, pria yang pernah mengikuti kuliah singkat tentang kemanusiaan di
Amerika Serikat itu hanya terdiam.
Selain menaruh kepedulian yang tinggi pada nasib
rakyat miskin, Romo Mangun juga dikenal sebagai sosok yang sangat peduli dengan
dunia pendidikan. “Anak-anak miskin yang tanpa sepengetahuan mereka terlempar
lahir di kalangan kumuh, itulah yang sebetulnya lebih memerlukan pertolongan.
Dari pengalaman itu saya mengambil kesimpulan bahwa prioritas selanjutnya yang
ingin saya kerjakan adalah mengabdi kepada pendidikan dasar anak-anak miskin.”
aku Romo. Kekecewaan Romo Mangun terhadap sistem pendidikan di Indonesia
menimbulkan gagasan-gagasan di benaknya. Pada 19 Mei 1994, ia membangun Yayasan
Dinamika Edukasi Dasar. Sebelumnya, Romo Mangun membangun gagasan SD yang
eksploratif untuk penduduk korban proyek pembangunan waduk Kedungombo, Jawa
Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta. Romo Mangun
yakin bahwa interaksi saling ajar antara guru dan murid adalah hal yang paling
menentukan keberhasilan pendidikan. Menurutnya, meski pendidikan tinggi di
Indonesia tidak cukup baik, tapi lantas jangan meninggalkan pendidikan dasar.
Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan oleh
politik dan kepentingan para pejabat menjadikan dirinya beroposisi selama masa
pemerintahan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Orde Baru. Bahkan
tak jarang ia bersuara lantang memprotes kesewenang-wenangan seperti pada 26
Mei 1998, Romo Mangun menjadi salah satu pembicara utama dalam aksi demonstrasi
peringatan terbunuhnya Moses Gatutkaca di Yogyakarta. Namun sayang, semua
kebaikannya harus terhenti karena kehendak Yang Maha Kuasa. Sosok pemuka agama
yang santun dan bijak itu harus kembali ke haribaan-Nya ketika menghadiri
sebuah acara. Kepergiannya terbilang tiba-tiba tetapi sangat tenang. Usai
mengisi seminar ‘Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat
Indonesia Baru’ di Hotel Le Meridien, tubuhnya seketika limbung. Ia pun
dilarikan ke Rumah Sakit Saint Carolus, Jakarta. Namun tak lama kemudian ia
menghembuskan nafasnya yang terakhir pada Rabu, 10 Februari 1999 pukul 14:10
WIB akibat serangan jantung. Jenazahnya kemudian dimakamkan di makam biara
komunitasnya di Kentungan, Yogyakarta.
Kepergian Romo yang mendadak menyisakan rasa
kehilangan yang teramat dalam bagi orang-orang yang pernah mengenal sosoknya.
Berbagai komentar dari tokoh masyarakat waktu itu, termasuk Mantan Presiden
Republik Indonesia Ketiga (1998-1999) BJ Habibie, menunjukkan bahwa bangsa ini
telah kehilangan seorang tokoh yang menjadi suri tauladan. Kebaikan, keteladan,
ketekunan, dan jalan kebenaran yang ia tempuh, membuatnya dijadikan contoh oleh
banyak orang. Tidak hanya untuk orang yang seiman, mereka yang berbeda
keyakinan pun juga mengamini pendapat itu. Di mata kawan-kawannya, ia dikenal
sebagai pejuang yang cinta perdamaian, yang memberikan perhatian lebih pada
mereka yang menderita dan butuh bantuan.
4) Munir
Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8
Desember 1965 – meninggal di Jakarta di dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7
September 2004 pada umur 38 tahun) adalah pria keturunan Arab yang juga seorang
aktivis HAM Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga
Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
Saat menjabat Dewan Kontras, namanya melambung
sebagai seorang pejuang bagi orangorang hilang yang diculik pada masa itu.
Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar
dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan
Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.
Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum
Kota Batu. Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis HAM lainnya terus menuntut
pemerintah agar mengungkap kasus pembunuhan ini.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar
bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa
arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia.
Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga
bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Mendalami Ajaran Gereja dan Kitab Suci yang
Mengajarkan tentang Keluhuran Martabat Manusia sebagai Citra Allah
a. Beberapa Kutipan dari Katekismus Gereja
Katolik (KGK):
KGK 357 Karena ia diciptakan menurut citra Allah,
manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya sesuatu, melainkan
seorang. Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan
diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, dan karena
rahmat ia sudah dipanggil ke dalam perjanjian dengan Penciptanya, untuk memberi
kepada-Nya jawaban iman dan cinta, yang tidak dapat diberikan suatu makhluk
lain sebagai penggantinya.
KGK 358 Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk
manusia (Bdk. GS 12,1; 24,2; 39,1), tetapi manusia itu sendiri diciptakan untuk
melayani Allah, untuk mencintai-Nya dan untuk mempersembahkan seluruh ciptaan kepadaNya:
“Makhluk manakah yang diciptakan dengan martabat yang demikian itu? Itulah
manusia, sosok yang agung, yang hidup dan patut dikagumi, yang dalam mata Allah
lebih bernilai daripada segala makhluk. Itulah manusia; untuk dialah langit dan
bumi dan lautan dan seluruh ciptaan. Allah sebegitu prihatin dengan
keselamatannya, sehingga Ia tidak menyayangi Putera-Nya yang tunggal untuk dia.
Allah malahan tidak ragu-ragu, melakukan segala sesuatu, supaya menaikkan
manusia kepada diri-Nya dan memperkenankan ia duduk di sebelah kanan-Nya”
(Yohanes Krisostomus, Serm. in Gen. 2,1).
KGK 360 Umat manusia merupakan satu kesatuan karena
asal yang sama. Karena Allah “menjadikan dari satu orang saja semua bangsa dan
umat manusia” (Kis 17:26) Bdk. Tob8:6. Pandangan yang menakjubkan, yang
memperlihatkan kepada kita umat manusia dalam kesatuan asal yang sama dalam
Allah dalam kesatuan kodrat, bagi semua disusun sama dari badan jasmani dan
jiwa rohani yang tidak dapat mati dalam kesatuan tujuan yang langsung dan
tugasnya di dunia; dalam kesatuan pemukiman di bumi, dan menurut hukum kodrat
semua manusia berhak menggunakan hasil-hasilnya, supaya dengan demikian
bertahan dalam kehidupan dan berkembang; dalam kesatuan tujuan adikodrati:
Allah sendiri, dan semua orang berkewajiban untuk mengusahakannya: dalam
kesatuan daya upaya, untuk mencapai tujuan ini;… dalam kesatuan tebusan, yang
telah dilaksanakan Kristus untuk semua orang” (Pius XII Ens. “Summi
Pontificatus”) Bdk. NA 1.
KGK 361 “Hukum solidaritas dan cinta ini” (ibid.) menegaskan
bagi kita, bahwa kendati keaneka-ragaman pribadi, kebudayaan dan bangsa, semua
manusia adalah benar-benar saudara dan saudari. KGK 362 Pribadi manusia yang
diciptakan menurut citra Allah adalah wujud jasmani sekaligus rohani. Teks
Kitab Suci mengungkapkan itu dalam bahasa kiasan, apabila ia mengatakan: “Allah
membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan napas hidup ke dalam
hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kejadian 2:7).
Manusia seutuhnya dikehendaki Allah
b. Ajaran Kitab Suci (Luk 10: 25-37)
Kata Citra mungkin lebih tepat kita artikan sebagai
Gambaran. Yang menggambarkan! Kalau kita mirip dengan ibu kita, itu tidak
berarti kita sama dengan ibu kita. Tetapi dengan mirip ini mau menggambarkan
sesuatu, bahwa pada diri kita entah itu fisiknya, karakternya, sifatsifatnya
ada kesamaan dengan ibu. Dan kesamaan ini bukan dalam arti yang sebenarnya,
tetapi merupakan gambaran dari ibu. Hasil karya, entah itu seni atau yang
lainnya dapat menggambarkan si penciptanya. Demikian pula makhluk yang disebut
manusia itu, dapat dikatakan sebagai gambaran atau citra si penciptanya, yaitu
Allah sendiri.
Manusia diberi kuasa untuk menguasai alam ciptaan
lain. Menguasai alam berarti menata, melestarikan, mengembangkan, dan menggunakannya
secara bertanggungjawab.
Karena manusia diciptakan sebagai Citra Allah,
manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya sesuatu, melainkan
seseorang. Ia mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas diri sendiri,
mengabdikan diri dalam kebebasan, dan hidup dalam kebersamaan dengan orang
lain, dan dipanggil membangun relasi dengan Allah, pencipta-Nya.
Persaudaraan sejati adalah persaudaraan yang
dihayati atas dasar persamaan kodrat sebagai sesama ciptaan Tuhan dan persamaan
kodrat sebagai Citra Allah.
Persaudaraan sejati tidak membedakan orang
berdasarkan agama, suku, ras, ataupun golongan, karena semua manusia adalah
sama-sama umat Tuhan dan sama-sama dikasihi Tuhan. Maka setiap orang yang
membenci sesamanya, ia membenci Tuhan.
LATIHAN SOAL
SILAHKAN KLIK DISINI
BAB II
Manusia Makhluk Otonom
A. Suara Hati
Perkembangan sosial yang begitu cepat banyak
membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, demikian juga
persoalan-persoalan yang ditimbulkannya. Persoalan-persoalan tersebut
membutuhkan pemecahan yang tepat. Di samping itu banyak tata nilai yang mengalami
perubahan, seperti ketaatan, sopan santun, kejujuran, keadilan, tanggung jawab,
dan sebagainya sering menjadi kabur. Berhadapan dengan situasi itu kaum remaja
perlu mendapatkan pendampingan, sehingga tidak salah dalam mengambil keputusan.
Mereka harus belajar membuat keputusan dengan mendengarkan suara hati atau hati
nuraninya.
Suara hati secara luas dapat diartikan sebagai
keinsafan akan adanya kewajiban. Hati nurani merupakan kesadaran moral yang
timbul dan tumbuh dalam hati manusia, sedangkan hati nurani secara sempit dapat
diartikan sebagai penerapan kesadaran moral dalam situasi konkret, yang menilai
suatu tindakan manusia atas buruk baiknya. Hati nurani tampil sebagai hakim
yang baik dan jujur, walaupun dapat keliru.
Suara hati atau hati nurani merupakan daya atau
kemampuan khusus untuk membedakan perbuatan baik atau perbuatan buruk, serta
menilai baik-buruknya perbuatan itu berdasarkan akal budi. Conscience atau hati
nurani merupakan hasil dialog pribadi kita yang terdalam dengan Allah ketika kita
menghadapi dan menanggapi situasi hidup sehari-hari.
Santo Paulus mengatakan kepada kita bahwa dalam
diri kita ada dua hukum, yaitu hukum Allah dan hukum dosa. Kedua hukum itu
saling bertentangan. Hukum Allah menuju kepada kebaikan, sedangkan hukum dosa
menuju kepada kejahatan. Santo Paulus menyadari bahwa selalu ada pergulatan
antara yang baik dan yang jahat dalam hati manusia (lihat Roma 7: 13–26).
Sementara dalam suratnya kepada jemaat di Galatia
5: 17 Santo Paulus mengatakan bahwa kita harus memberikan diri dipimpin oleh
Roh. Kita harus berusaha memenangkan hati nurani kita dan mengalahkan
kecenderungan kita yang menyesatkan. Kita harus peka terhadap sapaan dan rahmat
Allah.
Selanjutnya, Gereja melalui Konsili Vatikan II,
khususnya dalam Gaudium et Spes Art. 16, antara lain dikatakan, “Tidak jarang
terjadi, bahwa hati nurani keliru karena ketidaktahuan yang tak teratasi.
Karena hal itu, ia tidak kehilangan martabatnya. Hal itu sebenarnya tak perlu
terjadi kalau manusia berikhtiar untuk mencari yang benar dan baik”. Itu
artinya manusia tidak boleh tunduk dan mengalah pada situasi yang membelenggu
suara hati. Dengan bantuan Roh Allah kita dimampukan untuk mengalahkan kekuatan
dahsyat yang menguasai suara hati kita, yang oleh Santo Paulus dinamai kuasa/
keinginan daging.
Mendalami Ajaran Gereja dan Kitab Suci Tentang
Suara Hati (Rom 2: 14-16)
a. Ajaran Gereja
Gaudium et Spes, art. 16
“Di lubuk hati nuraninya, manusia menemukan hukum,
yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaati. Suara
hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang
baik, dan menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan
dalam lubuk hatinya: jalankan ini, elakkan itu. Sebab dalam hatinya, manusia
menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu,
dan menurut hukum itu pula ia akan diadili.
Suara hati ialah inti manusia yang paling rahasia,
sanggar suci; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang pesan-Nya menggema
dalam hatinya. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang
dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama. Atas
kesetiaan terhadap hati nurani, umat Kristiani bergabung dengan sesama lainnya
untuk mencari kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan sekian banyak
persoalan moral, yang timbul baik dalam hidup perorangan maupun dalam kehidupan
kemasyarakatan.”
b. Kutipan Kitab Suci
Roma 2: 14 – 16
14 Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki
hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum
Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum
Taurat bagi diri mereka sendiri.
15 Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi
hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut
bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.
16 Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah,
sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang
tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.
Hati nurani sendiri dapat diartikan secara luas dan
secara sempit.
Arti luas: Dalam arti luas hati nurani berarti
kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang dalam hati manusia. Keinsyafan akan
adanya kewajiban. Arti sempit: Hati nurani merupakan penerapan kesadaran moral
di atas dalam situasi konkret seperti yang dialami Boy dalam kisah tadi. Suara
hati yang menilai suatu tindakan manusia benar atau salah, baik atau buruk.
Hati nurani tampil sebagai hakim yang baik dan jujur, walaupun dapat keliru.
Suara hati adalah suara Allah, maka melawan suara
hati berarti melawan Allah. Agar kita setia pada kehendak Allah kita perlu
bersatu dengan Roh Kudus dan mengandalkan kekuatannya
Kerja suara hati dapat ditinjau dari berbagai segi:
Segi waktu
Hati nurani dapat berperanan sebelum suatu tindakan
dibuat. Biasanya, hati nurani akan menyuruh kalau perbuatan itu baik dan
melarang kalau perbuatan itu buruk.
Hati nurani dapat berperan pada saat suatu tindakan
dilakukan. Ia akan terus menyuruh jika perbuatan itu baik dan melarang jika
perbuatan itu buruk atau jahat.
Hati nurani dapat berperan sesudah suatu tindakan
dibuat. Hati nurani akan “memuji” jika perbuatan itu baik dan hati nurani akan
membuat kita gelisah atau menyesal jika perbuatan itu buruk atau jahat.
Segi benar-tidaknya
1) Hati nurani benar, jika kata hati kita cocok dengan
norma objektif.
2) Guru memberi kesempatan kepada peserta didik
untuk menyebutkan contoh, misalnya: menolong orang yang sedang mengalami
musibah.
3) Hati nurani keliru, jika kata hati kita tidak
cocok dengan norma objektif
Segi pasti-tidaknya
1) Hati nurani yang pasti, artinya, secara moral
dapat dipastikan bahwa hati nurani tidak keliru.
2) Hati nurani yang bimbang, artinya, masih ada
keraguan.
Penyebab tumpulnya suara hati berikut ini:
1) Orang yang bersangkutan tidak biasa menghiraukan
hati nuraninya.
2) Orang yang selalu bersifat ragu-ragu atau
bingung.
3) Pandangan masyarakat yang keliru. Misalnya: riba
dianggap biasa!
4) Pengaruh pendidikan dalam lingkungan keluarga
atau lingkungan lainnya.
5) Pengaruh propaganda, mass media dan arus massa.
Cara kerja suara hati, antara lain:
Sebelum bertindak, ia berfungsi sebagai petunjuk
(indeks), yang mengingatkan pengetahuan kita bahwa ada yang baik dan ada yang
buruk. Sesungguhnya kesadaran moral semacam ini sudah dimiliki setiap orang
dewasa.
Pada saat-saat menjelang bertindak, ia bertindak
sebagai hakim (iudeks), yang menyuruh kita melakukan yang baik dan
melarang/menghindari yang jahat. Selama perbuatan itu belum selesai, suara hati
akan bekerja terus antara menyuruh melakukan yang baik dan melarang melakukan
yang jahat.
Sesudah tindakan selesai dilakukan, ia berfungsi
memberikan vonis (vindeks), yang akan menyatakan apakah perbuatan kita itu
tepat atau tidak tepat. Bila yang kita lakukan itu benar, ia akan memberikan
pujian sehingga kita merasakan ketenangan, tetapi bila yang kita lakukan itu
yang jahat dan salah maka ia akan memberikan hukuman, yang membuat kita merasa
bersalah dan tidak tenang, merasa dikejar-kejar kesalahan, dan sebagainya.
Lewat hati nuraninya yang bersih, setiap orang
dipanggil untuk bekerjasama memecahkan persoalan-persoalan dalam masyarakat,
sehingga persoalan-persoalan dalam masyarakat seharusnya dipecahkan
pertama-tama melalui dialog yang dilandasi hati nurani, karena hati nurani
adalah suara Allah. Jangan langsung didekati secara agama masing-masing atau melalui
hukum. Contoh: ketika menangkap orang yang mencuri pisang hanya beberapa biji,
menurut hukum wajib dikenai hukuman. Tetapi bisa jadi bila didekati secara
nurani, akan muncul belas kasihan sehingga pencuri itu diampuni. Contoh lain:
bila ada pasangan muda-mudi berbeda agama mau menikah, menurut hukum Perkawinan
Negara dilarang, tetapi bila menuruti hati nurani mungkin orang akan berpikir
mengapa cinta harus dibatasi dengan peraturan?
Suara hati dapat dibina dengan cara:
Mengikuti suara hati dalam segala hal
Seseorang yang selalu berbuat sesuai dengan hati
nuraninya, hati nurani akan semakin terang dan berwibawa.
Seseorang yang selalu mengikuti dorongan suara
hati, keyakinannya akan menjadi sehat dan kuat. Dipercayai orang lain, karena
memiliki hati yang murni dan mesra dengan Allah. “Berbahagialah orang yang
murni hatinya, karena mereka akan memandang Allah.” (Matius 5: 8).
Mencari keterangan pada sumber yang baik
Dengan membaca: Kitab Suci, Dokumen-Dokumen Gereja,
dan buku-buku lain yang bermutu.
Dengan bertanya kepada orang yang punya
pengetahuan/ pengalaman dan dapat dipercaya
Ikut dalam kegiatan rohani, misalnya rekoleksi,
retret, dan sebagainya.
Koreksi diri atau introspeksi
Koreksi atas diri sangat penting untuk dapat selalu
mengarahkan hidup kita.
Menjaga kemurnian hati
Menjaga kemurnian hati terwujud dengan melepaskan
emosi dan nafsu, serta tanpa pamrih, yang nampak dalam tiga hal:
a) Maksud yang lurus (recta intentio): ia konsisten
dengan apa yang direncanakan, tanpa dibelokkan ke kiri atau ke kanan.
b) Pengaturan emosi (ordinario affectum): ia tidak
menentukan keputusan secara emosional.
c) Pemurnian hati (purification cordis): tidak ada
kepentingan pribadi atau maksud-maksud tertentu di balik keputusan yang
diambil.
Hal ini dapat dilatih dengan penelitian batin,
seperti merefleksikan rangkaian kata dan tindakan sepanjang hari itu, berdoa
sebelum melakukan aktivitas, dan lain-lain.
B. Bersikap Kritis dan bertanggung Jawab Terhadap Media Massa
Media komunikasi dewasa ini mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Sebagai dampaknya, informasi yang masuk ke dalam kehidupan
sehari-hari tidak terbendung. Persoalannya, informasi itu ada yang bersifat
membangun, tetapi ada juga yang bersifat merugikan. Pada umumnya remaja
bersifat polos dalam mengadopsi kehadiran media. Mereka menelan begitu saja apa
yang disediakan dan tidak mencernanya. Sehubungan dengan itu remaja perlu
mendapatkan bimbingan supaya mereka dapat bersikap kritis dalam memilih media dan
mampu mengolahnya menjadi nutrisi untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Kita dituntut untuk bersikap kritis atas segala tawaran yang
ada dan informasi yang kita peroleh. Bersikap kritis tidak berarti menolak
mentahmentah tentang media, melainkan kita mencoba menyaringnya dan mampu
mempertanggungjawabkan apa yang kita pilih dan kita percaya. Sikap kritis
mengandaikan kedewasaan berpikir, mampu mempertimbangkan baik-buruk sesuatu
hal, selektif dan mampu membuat skala prioritas dalam menentukan pilihan-pilihan
hidup. Dengan demikian, kita akan dapat menempatkan media massa pada tempat
yang semestinya bagi perkembangan diri kita.
Gereja melalui Inter Mirifica art 9 menegaskan
kewajiban-kewajiban khusus mengikat semua penerima, yakni para pembaca, pemirsa
dan pendengar, yang atas pilihan pribadi dan bebas menampung
informasi-informasi yang disiarkan oleh media itu. Sebab cara memilih yang
tepat meminta supaya mereka mendukung sepenuhnya segala sesuatu yang
menampilkan nilai keutamaan dan pengetahuan. Sebaliknya hendaklah mereka
menghindari apa saja, yang bagi diri mereka sendiri menyebabkan atau
memungkinkan timbulnya kerugian rohani, atau yang dapat membahayakan sesama
karena contoh yang buruk, kebanyakan terjadi dengan membayar iuran kepada para
penyelenggara, yang memanfaatkan media itu karena alasan-alasan ekonomi
semata-mata.
Maka supaya para penerima itu mematuhi hukum moral, hendaknya
mereka jangan melalaikan kewajiban, untuk selalu mencari informasi tentang
penilaianpenilaian mengenai semuanya itu yang diberikan oleh instansi-instansi
yang berwenang, dan untuk mengikutinya sebagai pedoman menurut suara hati yang
cermat. Untuk lebih mudah melawan dampak-dampak yang merugikan, dan mengikuti
sepenuhnya pengaruh-pengaruh yang baik, hendaknya mereka berusaha mengarahkan
dan membina suara hati mereka.
Selanjutnya dalam artikel 10 ditegaskan pula
bahwa, hendaknya kalangan kaum muda berusaha, supaya dalam memakai upaya-upaya
komunikasi sosial mereka belajar mengendalikan diri dan menjaga ketertiban.
Kecuali itu hendaklah mereka berusaha memahami secara lebih mendalam apa yang
mereka lihat, dengar, dan baca. Hendaklah itu mereka bicarakan dengan para
pendidik dan para ahli, dan dengan demikian mereka belajar memberi penilaian
yang saksama. Sedangkan para orang tua hendaknya menyadari bahwa kewajiban
mereka adalah menjaga dengan sungguh sungguh supaya tayangan-tayangan,
terbitan-terbitan tercetak, dan lain sebagainya, yang bertentangan dengan iman
serta tata susila, jangan sampai memasuki ambang pintu rumah tangga, dan jangan
sampai anakanak menjumpainya di luar lingkup keluarga.
Dokumen ini secara khusus menerima kekuatan pengaruh media
bagi masyarakat manusia secara penuh.
Pandangan Gereja Tentang Media Komunikasi Sosial
Inter Mirifica (Dekrit tentang komunikasi Sosial)
Artikel 9 (Kewajiban-kewajiban para pemakai media komunikasi
sosial)
Kewajiban-kewajiban khusus mengikat semua penerima, yakni
para pembaca, pemirsa dan pendengar, yang atas pilihan pribadi dan bebas
menampung informasi-informasi yang disiarkan oleh media itu. Sebab cara memilih
yang tepat meminta, supaya mereka mendukung sepenuhnya segala sesuatu yang
menampilkan nilai keutamaan, ilmu-pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya
hendaklah mereka menghindari apa saja, yang bagi diri mereka sendiri menyebabkan
atau memungkinkan timbulnya kerugian rohani, atau yang dapat membahayakan
sesama karena contoh yang buruk, atau menghalang-halangi tersebarnya informasi
yang baik dan mendukung tersiarnya informasi yang buruk. Hal itu kebanyakan
terjadi dengan membayar iuran kepada para penyelenggara, yang memanfaatkan
media itu karena alasan-alasan ekonomi semata-mata.
Maka supaya para penerima itu mematuhi hukum moral, hendaknya
mereka jangan melalaikan kewajiban, untuk pada waktunya mencari informasi
tentang penilaian-penilaian yang mengenai semuanya itu diberikan oleh
instansi-instansi yang berwenang, dan untuk mengikutinya sebagai pedoman
menurut suara hati yang cermat. Untuk lebih mudah melawan dampakdampak yang
merugikan, dan mengikuti sepenuhnya pengaruh-pengaruh yang baik, hendaknya
mereka berusaha mengarahkan dan membina suara hati mereka dengan upaya-upaya
yang cocok.
Artikel 10. (Kewajiban-kewajiban kaum muda dan para orang
tua)
Hendaknya para penerima, terutama dikalangan kaum muda
berusaha, supaya dalam memakai upaya-upaya komunikasi sosial mereka belajar
mengendalikan diri dan menjaga ketertiban. Kecuali itu hendaklah mereka
berusaha memahami secara lebih mendalam apa yang mereka lihat, dengar dan baca.
Hendaklah itu mereka percakapkan dengan para pendidik dan para ahli, dan dengan
demikian mereka belajar memberi penilaian yang saksama. Sedangkan para
orang-tua hendaknya menyadari sebagai kewajiban mereka: menjaga dengan sungguh
sungguh, supaya tayangan-tayangan, terbitanterbitan tercetak dan lain sebagainya,
yang bertentangan dengan iman serta tata susila, jangan sampai memasuki ambang
pintu rumah tangga, dan jangan sampai anak-anak menjumpainya di luar lingkup
keluarga.
Dasar biblis Mrk
2: 23-28
Pada suatu kali, pada hari sabat , Yesus berjalan di
ladang gandum, dan sementara berjalan murid-murid-Nya memetik bulir
gandum. Maka kata orang-orang Farisi kepada-Nya: “Lihat! Mengapa
mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?”. Jawab-Nya
kepada mereka : “Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia
dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke
dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar, lalu makan roti
sajian itu– yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam– dan memberinya
juga kepada pengikut-pengikutnya?” Lalu kata Yesus kepada mereka :”Hari Sabat
diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia
adalah juga Tuhan atas hari Sabat
Media pada zaman Yesus
1.
Pada masa Yesus sudah
ada media dalam bentuk buku/kitab, misalnya kitab Taurat Musa
2.
Kitab Taurat ini
mengatur tentang kewajiban-kewajiban dan peraturan mengenai hari Sabat
3.
Namun kitab ini
kemudian dimanipulasi oleh para agamawan sehingga menjadi beban bagi masyarakat
Bagaimana Sikap YESUS?
Bagi Yesus, hari Sabat ada untuk manusia dan bukan
manusia untuk hari Sabat. Artinya aturan memang perlu, tapi keselamatan manusia
lebih penting
Sikap Yesus ketika berhadapan dengan media massa:
1.
Kritis
Kritis berarti: membedakan mana yang benar dan
salah atau berguna dan tidak berguna. Selain itu, di tengah banjirnya
informasi, perlu ada formasi/bentuk yang tepat dalam kaitan dengan sikap yang
tepat untuk menentukan mana yang positif dan negatif.
2.
Bertanggungjawab
Bertanggungjawab berarti: ada dasar dan
pertimbangan yang sesuai nilai moral/universal sekaligus dapat
dipertanggungjawabkan baik secara pemikiran maupun sikap konkret
Beberapa Gagasan Pokok
Media berasal dari bahasa Latin merupakan bentuk jamak dari medium
secara harafiah berarti perantara atau pengantar dalam hal ini untuk
menyalurkan pesan atau informasi.
Kita sekarang sedang mengalami revolusi informasi. Karena
berbagai kemajuan teknologi media, kita dibanjiri oleh arus informasi yang
melimpah ruah dan tidak henti, hampir tanpa saringan. Informasiinformasi itu
dapat berupa informasi yang baik dan membangun, tetapi juga dapat berupa
informasi yang buruk dan merusak.
Kita harus memiliki sikap kritis terhadap semua informasi
yang kita terima. Sikap kritis berarti dapat memilah-milah mana yang benar dan
mana yang salah; mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang positif dan mana
yang negatif. Jadi, kita harus bersikap kritis terhadap pengaruh positif dan
negatif dari media yang menyuguhkan berbagai informasi.
Pengaruh positif dari media dapat terjadi karena:
Teknologi media mendekatkan manusia satu sama lain. Ia dapat
mendekatkan pikiran dan relasi kita. Pikiran dan relasi kita menjadi lebih
terbuka kepada orang lain, kepada bangsa lain, budaya lain, dan sebagainya.
Teknologi media dapat membuat kita terlibat pada peristiwa di
belahan bumi yang lain. Kita terlibat pada gempa bumi di Aljazair, pada SARS di
Cina, pada Piala Dunia, dan sebagainya.
Teknologi media menyajikan mutu dan pola pemberitaan yang
semakin menarik. Pemberitaan lewat satelit dan jaringan internet yang makin
semarak.
Teknologi media dapat menyajikan gambar dan suara yang lebih
canggih, seperti musik stereo, gambar tiga dimensi, dan sebagainya.
Pengaruh dari pemilik atau sponsor media
1. Manusia, entah pemilik media, entah
sponsor, entah lembaga negara, entah masyarakat dan Gereja, dapat menggunakan
media untuk menciptakan perhatian dan keprihatinan umum tentang suatu masalah
di belahan bumi, seperti AIDS, narkotika, pembunuhan massal oleh suatu
pemerintahan otoriter, dan sebagainya. Ia membantu menciptakan keprihatinan.
2. Media dapat digunakan untuk memberi
informasi membentuk, opini umum yang baik dan juga untuk mendidik. Media dapat
digunakan untuk membela keadilan dan kebenaran, dan sebagainya. 3) Media dapat
digunakan untuk hiburan. Misalnya, hiburan musik, tari, sinetron, dan
sebagainya.
Pengaruh yang tidak disadari, yakni:
1. Sadar tidak sadar, media sudah
membentuk budaya baru. Kaum muda adalah massa yang terlibat penuh dalam budaya
baru ini.
2. Sadar tidak sadar, media telah
mengubah cara pikir kita tentang hidup, tentang kebudayaan, dan sebagainya.
Jendela dunia terbuka lebar bagi kita.
Pengaruh Negatif dari Media
Pengaruh negatif yang disebabkan dari teknologi media
sendiri, antara lain:
1. Media telah membangun kerajaan dan
kekuasaan yang sangat kuat. Siapa yang memiliki media dia yang kuat dan
berkuasa. Media Dunia Utara menguasai Dunia Selatan. Kota menguasai desa. Pihak
yang kuat dan kaya menguasai yang lemah dan miskin.
2. Media menciptakan budaya baru yang
gemerlap, budaya asli dan lokal perlahan-lahan tersingkir.
Pengaruh negatif yang disebabkan oleh pemilik dan sponsor
media, yakni:
1. Media adalah bisnis. Supaya bisnis
dapat laku, maka digalakkan semangat materialisme, konsumerisme dan hedonisme.
2. Lewat media dapat dibangun persepsi
yang salah tentang kesejahteraan. Kesejahteraan berarti memiliki materi
sebanyakbanyaknya. Manusia tidak lagi dinilai dari karakter dan dedikasi,
tetapi dari apa yang dia miliki (rumah, mobil, uang, dan sebagainya.) seperti
yang dipromosikan pada iklan-iklan di media.
3. Lewat media dapat diciptakan
stereotip tentang tokoh kecantikan, mode, dan sebagainya. yang akan ditiru oleh
khalayak ramai, misalnya mode rambut, mode pakaian, dan sebagainya. yang begitu
cepat ditiru.
4. Lewat media dapat diciptakan sensasi
tantangan seks, kekerasan, dan horor yang mungkin sangat disenangi oleh
penonton.
5. Pemilik, penguasa, dan sponsor media
dapat melakukan berbagai rekayasa dan trik demi kepentingan bisnis dan
politiknya.
Pengaruh negatif yang tidak disengaja
1. Jadwal hidup dan kerja kita menjadi
tidak teratur. Banyak waktu tersedot untuk menonton atau mendengar siaran
media. Komunikasi antarpribadi dalam keluarga berkurang.
2. Kecanduan dan keterlibatan pada
kekerasan dan seks bebas sering ada hubungannya dengan siaran TV atau chatting
di internet atau HP (SMS).
3. Arus urbanisasi sering disebabkan
oleh tayangan yang glamour tentang kehidupan kota
Oleh karena itu, kita harus tetap kritis terhadap media dan
pandai-pandai menggunakan media untuk kepentingan kita dan masyarakat/umat
C. Bersikap Kritis terhadap Ideologi dan gaya Hidup yang Berkembang Dewasa Ini
Dalam hidup modern dewasa ini, kita tidak dapat lepas dari
berbagai pengaruh lingkungan, baik itu paham atau ideologi maupun aliran hidup
yang ada dan berkembang saat ini. Terlebih seperti yang dialami oleh banyak
kaum muda sekarang ini, tren apapun bentuknya mulai dari mode, musik, film,
sampai pada berbagai gaya hidup lainnya, hingga perangkat teknologi, tak bisa
dilepaskan pengaruhnya bagi kita. Tingkatan pengaruhnya sangat tergantung pada
kedewasaan kita dalam menjalani dan menentukan pilihan. Pada pelajaran ini,
kita akan mengamati berbagai pengaruh dari suatu ideologi, aliran/paham, dan
tren-tren yang berkembang saat ini. Harapannya adalah bahwa kita harus bersikap
kritis terhadap:
a. Tren-tren yang sedang berkembang
pesat pada saat ini, antara lain: materialisme, konsumerisme, individualisme,
pluralisme, fundamentalisme, dan sebagainya. Tren-tren itupun dapat
mempengaruhi kaum muda dalam usaha pencarian identitasnya.
b. ideologi, paham-paham, dan aliran
yang beranekaragam. Sebab, ideologi, paham-paham, dan aliran itu dapat
melahirkan partai-partai politik atau sekte-sekte agama. Kaum muda sering
dijadikan sasaran dari penyebaran dan perluasan ideologi atau paham-paham dan
aliran.
Sewaktu hidupNya, Yesus bertemu dengan berbagai orang yang
menganut macam-macam ideologi, paham dan aliran, misalnya kaum Farisi, kaum
Saduki, kaum Esseni, dan kaum Zelot. Dalam menghadapi berbagai ideologi, paham,
dan aliran tersebut, Yesus sudah memiliki sikap kritis. Yesus tetap pada
pilihan-Nya (opsi-Nya), yaitu Kerajaan Allah. Yesus juga pernah dihadapkan
kepada berbagai tawaran yang menggiurkan, seperti jaminan sosial ekonomi,
kekuasaan, dan kesenangan, tetapi Yesus tetap menolaknya (Lihat Matius 4:
1-11). Pilihan (opsi) Yesus tetap pada mewartakan dan memberi kesaksian
tentang Kerajaan Allah.
Pada zaman yang penuh tawaran ideologi, paham-paham, dan
macam-macam godaan untuk berbagai jaminan sosial ekonomi dan politik serta
kesenangan, kaum muda hendaknya membekali diri dengan sikap kritis, sehingga
dapat menentukan pilihan dengan benar.
Tentang Gaya Hidup:
Dalam hidup modern dewasa ini, kita tidak dapat lepas dari
berbagai pengaruh lingkungan, baik itu paham atau ideologi maupun aliran hidup
yang ada dan berkembang saat ini.
Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan atau di
perlihatkan dalam aktivitas, minat, dan pendapatnya yang berkaitan dengan citra
dan status sosialnya.
Menurut KBBI, gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari
segolongan manusia di dalam masyarakat. Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang
mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum,
dan upaya membedakan statusnya dari orang lain melalui lambang-lambang sosial.
Gaya hidup atau life style dapat diartikan juga sebagai segala sesuatu yang
memiliki karakteristik, kekhususan, dan tata cara dalam kehidupan suatu
masyarakat tertentu.
Gaya hidup bisa ditentukan oleh apa saja, mulai dari agama,
profesi, zaman, teknologi, hobi, umur, jenis kelamin, idola, dan sebagainya.
Semua itu terbentuk karena adanya kesamaan sejumlah manusia dalam menjalani
hidupnya pada suatu jalan tertentu.
Bagi kaum muda sekarang ini, tren apapun bentuknya mulai dari
mode, musik, film, sampai pada berbagai gaya hidup lainnya, hingga perangkat
teknologi, tak bisa dilepaskan pengaruhnya bagi kita.Tingkatan pengaruhnya
sangat tergantung pada kedewasaan kita dalam menjalani dan menentukan pilihan.
Kita harus bersikap kritis terhadap tren-tren yang sedang
berkembang pesat pada saat ini. Tren-tren yang sangat pesat berkembang antara
lain: materialisme, konsumerisme, individualisme, pluralisme, fundamentalisme,
dan sebagainya. Tren-tren pun dapat mempengaruhi kaum muda dalam usaha
pencarian identitasnya.
Tentang Ideologi
1. Kita harus bersikap kritis terhadap
ideologi, paham-paham, dan aliran yang beraneka ragam. Sebab, ideologi,
paham-paham, dan aliran itu dapat melahirkan partai-partai politik atau
sekte-sekte agama. Kaum muda sering dijadikan sasaran dari penyebaran slogan
perluasan ideologi atau paham-paham dan aliran.
2. Ideologi dapat diartikan juga sebagai
cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Contoh: banyak remaja di kota besar
yang tidak lagi menganggap “kesucian” badan (keperawanan dan keperjakaan),
sebagai sesuatu yang penting dipertahankan sampai jenjang perkawinan. Atau,
memandang ibadat bersama sebagai buang-buang waktu, dan sebagainya.
Nasionalisme
Nasionalisme dapat disebut semacam etno-sentrisme atau
pandangan yang berpusat pada bangsa sendiri. Gejala seperti semangat
nasionalisme, patriotisme, dsb. terdapat pada semua bangsa untuk menciptakan
rasa setia kawan dari suatu kelompok yang senasib.
Nasionalisme negatif atau nasionalisme sempit ialah
nasionalisme yang mengagung-agungkan bangsa sendiri dan meremehkan/menghina
bangsa lain. (Right or wrong my country).
Nasionalisme positif adalah nasionalisme yang mempertahankan
kemerdekaan dan kedaulatan bangsa, sekaligus menghormati kemerdekaan dan
kedaulatan bangsa lain!
Marxisme
Sejarah bangsa kita pernah berkenalan dengan marxisme.
Marxisme ialah suatu kumpulan ajaran yang menjadi dasar sosialisme dan
komunisme. Tujuan utama dari marxisme ialah menghapuskan kapitalisme yang
dianggap menyengsarakan dan menjajah kaum proletar, yaitu kaum buruh/rakyat
kecil.
Marxisme hanya percaya pada materi, tidak percaya pada dunia
adikodrati, termasuk tidak percaya kepada Tuhan. Manusia merupakan satu unsur
materi, suatu unsur yang sangat terbatas dalam proses perubahan keseluruhan
umat manusia dan semesta alam. Maka, manusia dapat digunakan untuk tujuan
marxisme itu. Jika manusia itu menjadi penghalang, maka ia dapat dilenyapkan.
Yang kiranya positif dari ideologi marxisme ini ialah
perjuangan dan opsinya kepada kaum buruh/proletar. Hanya sayangnya, ideologi
marxisme ini menghalalkan segala cara.
Komunisme
Komunisme adalah anak dari marxisme. Komunisme mencitacitakan
suatu sistem masyarakat di mana sarana-sarana produksi dilakukan berdasarkan
asas bahwa setiap anggota masyarakat dapat memperoleh hasil sesuai dengan
kebutuhan. Cita-cita komunisme ini praktis diperjuangkan dan dimonopoli oleh
partai komunis.
Teokrasi
Teokrasi merupakan sebuah paham yang menghendaki agama
menguasai masyarakat politis. Dalam hal ini, pemerintahan dianggap melakukan
kehendak ilahi seperti diwahyukan menurut kepercayaan agama tertentu. Negara
adalah negara agama. Segala bentuk teokrasi bersifat statis-konservatif, karena
hukum agama dipandang tetap.
Neo-Liberalisme
Liberalisme adalah suatu paham dan gerakan yang
memperjuangkan kebebasan dari penindasan apapun.
Namun, kebebasan itu dapat memberi peluang bagi yang kuat
untuk menekan yang lemah dan yang kaya memeras yang miskin. Oleh sebab itu,
liberalisme di Indonesia sering berkonotasi negatif.
Neo-Liberalisme ialah paham yang berkembang dewasa ini dalam
hubungannya dengan globalisasi dan pasar bebas, yang akan dikuasai oleh mereka
yang kuat secara ekonomis dan politis. Neo-Liberalisme mempunyai konotasi
negatif untuk negara-negara yang sedang berkembang.
Liberalisme memang memiliki segi positif dan negatif.
Positif karena liberalisme memperjuangkan kebebasan dan hak
asasi manusia.
Negatif karena liberalisme, terutama neo-liberalisme dapat
menguasai pasar karena terjadi persaingan yang tidak seimbang. Neo-Liberalisme
melahirkan sikap-sikap asosial.
Perlu dicatat bahwa kebanyakan ideologi cenderung untuk
bersikap fanatik!
Tren Yang Berkembang:
Pada saat ini muncul banyak tren dan isu yang semakin lama
semakin kuat, yang perlu kita sikapi dengan kritis. Tren-tren dan isu-isu yang
aktual dan relevan untuk ditanggapi secara kritis adalah sebagai berikut.
Budaya Materialistik dan Hedonistik
Budaya materialistik dan hedonistik adalah hidup berlimpah
materi dan berkesenangan. Manusia diukur dari apa yang dia miliki (rumah,
mobil, dan sebagainya), bukan karakter. Pengorbanan, menanggung penderitaan,
askese dan tapa, kesederhanaan dan kerelaan untuk melepaskan nikmat demi
cita-cita luhur tidak mempunyai tempat dalam budaya materialistik dan
hedonistik. Budaya materialistik dan hedonistik itu antara lain melahirkan
sikap konsumerisme.
Konsumerisme adalah sikap orang yang terdorong untuk terus-menerus
menambahkan tingkat konsumsi, bukan karena konsumsi itu dibutuhkan, melainkan
lebih demi status yang dianggap akan diperoleh melalui konsumsi tinggi itu.
Individualisme
Individualisme umumnya muncul akibat dari perkembangan
sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang sedang berlangsung. Sikap
individualistik ini umumnya muncul pada masyarakat yang hidup di kota, terutama
pada masyarakat kelas menengah ke atas. Sikap individualistik ini umumnya
jarang terjadi pada kaum petani, nelayan, tukang, dan pedagang tradisional yang
pekerjaannya tidak terpisahkan dari kehidupan keluarga.
Gaya hidup modern memisahkan dengan tajam antara dua bidang
itu. Hidup dalam keluarga dan pekerjaan semakin tidak ada sangkut-pautnya satu
sama yang lain. Pagi hari ayah secara fisik dan emosional meninggalkan rumah
dan keluarganya, selama delapan sampai sebelas jam, menyibukkan diri dengan
pekerjaannya di kantor. Apabila pulang malam hari jika tidak membawa pekerjaan
kantor, barulah tersedia waktunya bagi keluarganya. Dengan demikian, budaya
kampung, ketetanggaan dan kekeluargaan dalam arti luas berubah. Orang menjadi
individualistik dan privatistik.
Pluralisme
Pluralisme berarti bahwa orang dari berbagai suku, daerah,
agama, keyakinan religius, dan politik bercampur-baur di kampung-kampung, di
tempat kerja, kendaraan umum, di rumah sakit, dan di mana pun juga; tidak ada
masyarakat yang tertutup dan tradisional murni.
Dengan kata lain, kontrol sosial terhadap pelaksanaan
keagamaan dan hidup bermasyarakat rakyat makin berkurang.
Lingkungan sosial semakin tidak menentukan lagi dalam hal
agama, keyakinan, politik, atau kepercayaan. Orang menentukan sendiri
keterlibatan dalam bidang-bidang tersebut. Dalam arti ini, agama menjadi urusan
pribadi seseorang, bukan urusan masyarakat atau pemerintah. Orang tidak harus
mengetahui dan tidak mempedulikan kepercayaan tetangganya.
Fundamentalisme
Gerakan fundamentalisme sekarang banyak muncul, baik di
negara-negara berkembang maupun di negara-negara maju. Gerakan fundamentalisme
ini umumnya muncul karena adanya suatu tekanan atau ketidakpuasan terhadap
kelompok tertentu atau negara tertentu. Gerakan-gerakan fundamentalisme ini
umumnya berkedok agama atau kepentingan politik tertentu, seperti yang kita
alami di negeri kita saat ini. Selain fundamentalisme agama dan politik, ada
juga fundamentalisme yang bersifat non-agama, misalnya sukuisme, nasionalisme,
dan sebagainya.
Isu Gender
Pembebasan kaum perempuan akan menjadi pembebasan umat
manusia seluruhnya menuju masyarakat baru, dengan paradigma sosial baru. Dalam
proses itu kita pun harus menuju pola hubungan yang sederajat sebagai mitra,
dengan sikap solider-partisipatif, polisentrik dan karena itu membentuk
jaringan dengan banyak simpul yang saling berhubungan.
Gerakan kaum perempuan akan menjadi gerakan pembebasan yang
kuat dan terasa dampaknya dalam abad ke-21 ini. Gerakan ini akan merombak
paradigma sosial lama menuju masyarakat baru yang lebih egalitarian.
Isu Demokrasi, Otonomi, dan Hak Asasi
Alam demokratis semakin dibutuhkan pada masa sekarang, bukan
saja sebagai sikap politik, tetapi sebagai sikap budaya. Secara global,
demokrasi menjadi penting bukan saja karena sosialisme telah runtuh, melainkan
karena liberalisme politik seakan-akan menjadi satu-satunya paham yang sekarang
berlaku. Sikap demokratis dibutuhkan terutama karena munculnya kekuatankekuatan
baru yang dibawa oleh globalisasi yang telah menimbulkan berbagai perubahan
yang akan menjadi produktif jika ditanggapi secara demokratis. Isu demokrasi,
otonomi, dan hak asasi akan semakin kuat dalam millennium ini.
Isu Lingkungan Hidup
Pada tahun-tahun terakhir ini, isu lingkungan hidup menjadi
sangat sentral di planet ini. Lingkungan hidup sangat erat hubungannya dengan mutu
dan kelangsungan hidup manusia. Sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan hidup
dianggap sebagai perbuatan yang konyol dan bunuh diri.
Budaya modern yang individualistik, rasionalistik, dan
eksploitatif mulai sedikit digeser oleh budaya pasca modern yang lebih sosial
dan akrab dengan alam/lingkungan hidup.
Mendalami Ajaran Kitab Suci tentang Perlunya Bersikap Kritis
Terhadap Gaya Hidup, Trend dan Ideologi yang Berkembang
Luk 4: 1-13, Mat 13: 1-36
Yesus Kritis Terhadap Tawaran-Tawaran Keduniaan
Sesudah Yesus berpuasa selama empat puluh hari di padang
gurun, secara fisik Yesus lemah. Kondisi “lemah” tersebut dimanfaatkan oleh
iblis untuk mencobai Yesus. Ia mencobai Yesus dengan menawarkan hal-hal yang
menggiurkan (lihat Lukas 4: 1-13).
Pertama : Roti, rezeki, jaminan sosial ekonomi.
Kedua : Kedudukan dan kekuasaan.
Ketiga : Kesenangan dan kenikmatan.
Godaan-godaan iblis bertujuan agar Yesus menggagalkan pilihan
(opsi) mewartakan Kerajaan Allah, dan supaya Yesus menyibukkan diri dengan
jaminan sosial, ekonomi, kekuasaan, dan kesenangan. Yesus menolaknya, bukan
karena hal-hal itu jelek, tetapi karena ada hal yang lebih pokok, yaitu
Kerajaan Allah!
Yesus Bersikap Kritis Terhadap Ideologi Dan Aliran Pada
Zaman-Nya
Waktu Yesus hidup di Palestina telah ada berbagai
kelompok dan aliran, misalnya:
FARISI (dari kata Ibrani Pharesees = ‘terpisah’) Kelompok Farisi adalah kelompok
orang-orang Yahudi saleh yang menerima hukum tertulis dan lisan dan dengan amat
teliti menaati berbagai macam kewajiban. Mereka mengecam Yesus karena Ia
mengampuni dosa, melanggar peraturan Sabat, dan bergaul dengan pendosa.
Sebaliknya, Yesus melawan sikap legalisme lahirilah dan formalisme pembenaran
diri mereka. Mereka bekerja sama dengan para Saduki (lawan mereka) untuk
membunuh Yesus.
SADUKI Kelompok Saduki merupakan salah satu kelompok politik Palestina zaman
Yesus. Mereka mempunyai pengaruh besar dalam bidang politik. Mereka berhubungan
erat dengan para Imam Agung, kaum ningrat, dan golongan konservatif. Dalam hal
agama, mereka menolak tradisi lisan, kebangkitan orang mati, dan adanya
malaikat. Mereka menentang Yesus dan bersama para Farisi mengusahakan
penyaliban Yesus, karena Yesus dianggap mengancam kedudukan politis dan
kepentingan mereka.
ESENI (mungkin berasal dari kata Ibrani Kasidim =’orang-orang setia’) Kelompok
Eseni ini menganggap diri sebagai orang terpilih dari antara orang-orang saleh.
Mereka hidup bermatiraga melaksanakan Hukum Taurat dengan sangat ketat, hidup
berkelompok tanpa milik pribadi, dan sebagian dari mereka tidak menikah. Mereka
hidup demikian karena yakin bahwa mereka akan bangkit dan hidup pada akhir
zaman, waktu di mana hampir semua orang menjadi murtad termasuk pimpinan bangsa
dan imam-imam Yahudi.
ZELOT Kelompok Zelot adalah pejuang-pejuang kemerdekaan Yahudi melawan
orang-orang Roma pada awal abad pertama Masehi dan dalam perang yang berakhir
dengan kehancuran Yerusalem pada tahun 70 Masehi.
Yesus ternyata tidak memilih salah satu dari
kelompok-kelompok atau aliran-aliran tersebut di atas. Yesus memilih aliran dan
gerakan-Nya sendiri, yaitu mewartakan dan memberi kesaksian tentang Kerajaan
Allah. Dalam rangka mewartakan dan memberi kesaksian tentang Kerajaan Allah,
Yesus menyapa orang-orang miskin.
Walaupun ia berasal dari kelompok kelas menengah, Yesus
secara sosial bercampur dengan orang-orang yang paling rendah dan menyamakan
diriNya dengan mereka. Mereka adalah orang miskin, buta, lumpuh, kusta,
kerasukan setan (dikuasai oleh roh najis), pendosa, pelacur, pemungut cukai,
rakyat gembel yang buta hukum, lintah darat, dan penjudi. Mereka ini dianggap
oleh orang Farisi sebagai sampah masyarakat yang harus dibuang, tidak berguna
atau najis. Mereka harus disingkirkan dari pergaulan masyarakat, karena
menyimpang dari hukum dan warisan adat-istiadat.
Bersikap kritis terhadap media dan ideologi tanpa tanggung
jawab dan dasar yang kuat akan menyebabkan kita hanya ingin tampil beda saja.
Sebagai murid Kristus,sikap kritis harus berdasar dan dapat dipertanggung
jawabkan. Kita harus mengkritisi berbagai media, cara pandang, dan ideologi
yang mempengaruhi kita agar kita menemukan kehidupan yang autentik (dapat
dipercaya) atau yang sejati.
Budaya modern dengan berbagai teknologi, gaya hidup, dan
ideologi cenderung tidak lagi memusatkan nilai iman dan hanya sedikit memberi
dukungan untuk menghayati iman dalam kehidupan sehari-hari. Bersikap kritis
pada media dan berbagai ideologi menunjukkan bahwa kita mempunyai sikap iman.
Sikap iman merupakan bentuk sikap bagaimana kita menerima
Allah dan kasih Allah yang diwahyukan kepada kita dalam pribadi Yesus melalui
komitmen-komitmen kita.
Sikap kritis terhadap ideologi yang ada, semestinya membuat
kita mampu bertahan dan berkembang sebagai seorang Kristen sejati di
tengahtengah dunia ini.
Konsekuensi dan dasar dari hidup kritis adalah berani
menyatukan diri ke dalam perkembangan dunia, dan berani melepas apa yang
“nikmat” dan menjadi murid Kristus.
Sikap kritis mempunyai 3 proses dasar:
1. Berusaha memusatkan diri pada
perkembangan nilai-nilai atau cita-cita yang kita anggap luhur.
2. Berusaha memalingkan diri dari
keegoisan dan mengarahkan segala perhatian kepada kepentingan bersama.
3. Membuka perhatian kepada hidup yang
lebih sempurna, yaitu ke arah hidup Allah sendiri
BAB III
Tradisi
Gereja, Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama
Tradisi Dalam
Gereja Katolik
Masyarakat Indonesia memiliki kekayaan tradisi yang luar biasa. Hampir
di setiap daerah di nusantara, kita dapat menyaksikan berbagai macam tradisi
yang secara turun-temurun masih tetap terpelihara dan tetap dilakukan.
Tradisitradisi itu tetap hidup sekalipun modernisasi sudah pula melanda
masyarakat yang bersangkutan. Kita mengenal tradisi syukuran atas panen,
tradisi dalam membangun rumah, tradisi dalam bergotong-royong, dan sebagainya.
Apapun bentuknya, tradisi tersebut hendak mengungkapkan nilai-nilai luhur yang
berguna sebagai penuntun hidup masyarakat. Walaupun demikian, ada sebagian
tradisi dalam masyarakat yang sudah punah, atau berubah wujudnya.
Gereja pun memiliki tradisi yang sangat kaya. Tradisi yang dimaksud
bukan sekedar upacara, ajaran atau kebiasaan kuno. Tradisi yang hidup dalam
Gereja lebih merupakan ungkapan pengalaman iman Gereja akan Yesus Kristus, yang
diterima, diwartakan, dirayakan, dan diwariskan kepada angkatan-angkatan
selanjutnya. Konsili Vatikan II memandang penting peran Tradisi ”Demikianlah
Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada
semua keturunan, dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya”. Tradisi ”berkat
bantuan Roh Kudus” berkembang dalam Gereja, ”sebab berkembanglah pengertian
tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata yang ditanamkan,” dan ”Gereja
tiada hentinya berkembang menuju kepenuhan kebenaran Ilahi” (D8). Dalam arti
ini tradisi mempunyai orientasi ke masa depan.
Dalam tradisi itu ada satu kurun waktu yang istimewa, yakni zaman
Yesus dan para Rasul. Pada periode yang disebut zaman Gereja Perdana, Tradisi
sebelumnya dipenuhi dan diberi bentuk baru, yang selanjutnya menjadi inti pokok
untuk Tradisi berikutnya, “yang dibangun di atas dasar para rasul dan para
nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.” (bandingkan Efesus 2: 20).
Maka, perumusan pengalaman iman Gereja Perdana yang disebut Perjanjian Baru
merupakan pusat dan sumber seluruh Tradisi, karena di dalamnya terungkap
pengalaman iman Gereja Perdana. Pengalaman itu ditulis dengan ilham Roh Kudus
(Dei Verbum Art. 11) dan itu berarti bahwa Kitab Suci mengajarkan dengan teguh
dan setia serta tanpa kekeliruan, kebenaran yang oleh Allah mau dicantumkan di
dalamnya demi keselamatan kita.
Gereja Katolik yakin bahwa Kitab Suci (Alkitab) bersama Tradisi
dinyatakan oleh Gereja sebagai “tolok ukur tertinggi iman Gereja” (Dei Verbum
Art. 21). Dengan kata “iman”, yang dimaksudkan adalah baik iman objektif maupun
iman subjektif. Jadi, “kebenaran-kebenaran iman” yang mengacu kepada realitas
yang diimani dan sikap hati serta penghayatannya merupakan tanggapan manusia
terhadap pewahyuan Allah. Beberapa pokok penting yang perlu dipahami dan
disadari oleh para peserta didik adalah: arti tradisi secara umum, pengertian
tradisi dalam Gereja Katolik, macam-macam tradisi dan contohnya, dan yang
penting adalah keyakinan bahwa Kitab Suci bersama tradisi merupakan tolok ukur
tertinggi bagi seluruh iman dan kehidupan Gereja.
Ibadat Jalan Salib
Awal Sejarah
Sekitar abad 4 St.Helena (ibu Raja Konstantin), melakukan ziarahnya
yang sekarang ini dikenal dengan nama Via Dolorosa untuk melihat dari dekat
tempat Yesus lahir sampai dimakamkan. Ziarah ini menjadi terkenal dan sangat
mudah mencapai tempat-tempat itu terutama setelah tahun 1199 di mana pasukan
Perang Salib (crusader) menguasai Yerusalem. Namun sejak tahun 1291, untuk
menuju tempat ini menjadi begitu sulit dan mahal karena sudah tidak dikuasai
lagi oleh para crusader. Maka lahirlah tradisi Ibadat Jalan Salib yang
bertujuan menghadirkan Tanah Suci bagi mereka yang tidak dapat berziarah ke
sana juga bagi mereka yang pernah berziarah ke sana, untuk tetap mengenangnya.
Tahun 1342 Ordo Fransiskan diangkat sebagai ordo yang secara resmi
wajib melindungi semua tempat suci di beberapa tempat di Yerusalem. Sejak saat
itulah biarawan-biarawan Fransiskan ini mulai memopulerkan devosi Jalan Salib,
terlebih sejak St. Fransiskus Asisi mengalami stigmata. Tradisi ini didukung
pula dengan adanya penampakan Bunda Maria di sana, dan juga pengajaran dari St.
Jerome. Sejak inilah dikenal beberapa versi Jalan Salib, seperti yang
ditetapkan oleh Alvarest Yang Terberkati (1420), Eustochia, Emmerich (1465) dan
Ketzel, hingga akhirnya banyak Paus yang menganjurkan Doa Jalan Salib yaitu
Paus Innocent XI (1686), Innocent XII (1694), Benedict XIII (1726), Clementius
XII (1731), Benediktus XIV (1742), karena ini merupakan cara doa yang paling
mudah untuk menghayati kisah sengsara Yesus dan pengorbanan-Nya di kayu salib.
Perkembangan Tradisi
Awalnya umat membuat perhentian-perhentian kecil dalam gereja, bahkan
kadang dibangun perhentian-perhentian yang besarnya seukuran manusia di luar
gereja. Para biarawan Fransiskan juga menuliskan lirik Stabat Mater, yang
biasanya dinyanyikan saat Ibadat Jalan Salib, baik dalam bahasa aslinya, yaitu
bahasa Latin, maupun dalam bahasa setempat, hingga ditetapkanlah 14 stasi
(perhentian) Jalan Salib oleh Paus Clement XII tahun 1731.
Peserta didik membaca penjelasan tentang Tradisi dari Dokumen Konsili
Vatikan II, Konstitusi tentang Wahyu Ilahi (Dei Verbum):
(Para Rasul dan pengganti mereka sebagai pewarta Injil)
Dalam kebaikan-Nya Allah telah menetapkan, bahwa apa yang
diwahyukan-Nya demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh untuk selamanya
dan diteruskan kepada segala keturunannya. Maka Kristus Tuhan, yang menjadi
kepenuhan seluruh wahyu Allah Yang Mahatinggi (lihat 2 Korintus 1:30;
3:16-4:6), memerintahkan kepada para Rasul, supaya Injil, yang dahulu telah
dijanjikan melalui para Nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkanNya dengan
mulut-Nya sendiri, mereka wartakan pada semua orang, sebagai sumber segala
kebenaran yang menyelamatkan serta sumber ajaran kesusilaan, dan dengan
demikian dibagikan kurnia-kurnia ilahi kepada mereka. Perintah itu dilaksanakan
dengan setia oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta
penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang telah mereka terima dari mulut,
pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus
telah mereka pelajari. Perintah Tuhan dijalankan pula oleh para Rasul dan
tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat
keselamatan.
Adapun supaya Injil senantiasa terpelihara secara utuh dan hidup dalam
Gereja, para Rasul meninggalkan Uskup-uskup sebagai pengganti mereka, yang
“mereka serahi kedudukan mereka untuk mengajar”. Maka dari itu Tradisi Suci dan
Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Baru bagaikan cermin bagi Gereja yang
mengembara di dunia, untuk memandang Allah yang menganugerahinya segala
sesuatu, hingga tiba saatnya Gereja dihantar untuk menghadap Allah tatap muka,
sebagaimana ada-Nya (lihat 1Yohanes 3:2).
(Tradisi Suci)
Oleh karena itu pewartaan para Rasul, yang secara istimewa diungkapkan
dalam kitab-kitab yang diilhami, harus dilestarikan sampai kepenuhan zaman
melalui penggantian-penggantian yang tiada putusnya. Maka para Rasul, seraya
meneruskan apa yang telah mereka terima sendiri, mengingatkan kaum beriman,
supaya mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran warisan, yang telah mereka
terima entah secara lisan entah secara tertulis (lihat 2 Tesalonika 2:15), dan
supaya mereka berjuang untuk membela iman yang sekali untuk selamanya
diteruskan kepada mereka (lihat Yudas 3). Adapun apa yang telah diteruskan oleh
para Rasul mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani
hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam
ajaran, hidup, serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua
keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya.
Tradisi yang berasal dari para rasul itu berkat bantuan Roh Kudus
berkembang dalam Gereja: sebab berkembanglah pengertian tentang
kenyataan-kenyataan maupun kata-kata yang diturunkan, baik karena kaum beriman,
yang menyimpannya dalam hati (lih. Lukas 2:19 dan 51), merenungkan serta
mempelajarinya, maupun karena mereka menyelami secara mendalam
pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka, yang
sebagai pengganti dalam martabat Uskup menerima kurnia kebenaran yang pasti.
Sebab dalam perkembangan sejarah Gereja tiada hentinya menuju kepenuhan
kebenaran ilahi, sampai terpenuhilah padanya sabda Allah. Ungkapan-ungkapan
para Bapa Suci memberi kesaksian akan kehadiran Tradisi itu pun Gereja mengenal
kanon Kitab-Kitab Suci selengkapnya, dan dalam Tradisi itu Kitab Suci sendiri
dimengerti secara lebih mendalam dan tiada hentinya dihadirkan secara aktif.
Demikianlah Allah, yang dulu telah bersabda, tiada hentinya
berwawancara dengan Mempelai Putera-Nya yang terkasih. Dan Roh Kudus, yang
menyebabkan suara Injil yang hidup bergema dalam Gereja, dan melalui Gereja
dalam dunia, menghantarkan Umat beriman menuju segala kebenaran, dan
menyebabkan sabda Kristus menetap dalam diri mereka secara melimpah (lihat
Kolose 3:16).
(Hubungan antara Tradisi dan
Kitab Suci)
Jadi Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan erat sekali dan berpadu.
Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu
bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama. Sebab Kitab Suci
itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi. Sedangkan
oleh Tradisi Suci sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus
dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti
mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka
memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. Dengan demikian Gereja
menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui
Kitab Suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun Kitab Suci) harus
diterima dan dihormati dengan cita-rasa kesalehan dan hormat yang sama.
(Gereja menghormati
Kitab-Kitab Suci)
Kitab-kitab ilahi seperti juga Tubuh Tuhan sendiri selalu dihormati
oleh Gereja, yang – terutama dalam Liturgi Suci – tiada hentinya menyambut roti
kehidupan dari meja sabda Allah maupun Tubuh Kristus, dan menyajikannya kepada
Umat beriman. Kitab-kitab itu bersama dengan Tradisi Suci selalu dipandang dan
tetap dipandang sebagai norma imannya yang tinggi. Sebab kitab-kitab itu
diilhami oleh Allah dan sekali untuk selamanya telah dituliskan, serta tanpa
perubahan manapun menyampaikan sabda Allah sendiri, lagi pula mendengarkan
suara Roh Kudus dalam sabda para Nabi dan para Rasul. Jadi semua pewartaan
dalam Gereja seperti juga agama kristiani sendiri harus dipupuk dan diatur oleh
Kitab Suci. Sebab dalam Kitab-Kitab Suci Bapa yang ada di Surga penuh cinta
kasih menjumpai para putera-Nya dan berwawancara dengan mereka. Adapun demikian
besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan
serta kekuatan, dan bagi puteraputeri Gereja menjadi kekuatan iman, santapan
jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani. Oleh karena itu bagi Kitab Suci
berlakulah secara istimewa katakata: “Memang sabda Allah penuh kehidupan dan
kekuatan” (Ibrani 4:12), “yang berkuasa membangun dan mengurniakan warisan di
antara semua para kudus” (Kisah Para Rasul 20:32; lihat 1Tesalonika 2:13). c.
Peserta merumuskan gagasan pokok yang terdapat pada masing-masing artikel di
atas
Pengertian Tradisi Gereja
• Menurut Kamus Bahasa Indonesia, tradisi diartikan sebagai adat
kebiasaan turun-temurun (berupa upacara, peralatan, kesenian, adat,
kepercayaan, kebiasaan, ajaran) yang masih dijalankan oleh masyarakat. Tradisi
dapat mengalami perubahan dan penyesuaian dengan situasi dan kondisi masyarakat
bersangkutan. Bilamana tradisi dianggap tidak lagi relevan dengan tata nilai
masyarakat atau tidak mampu menjawab tantangan zaman maka tradisi semacam ini
biasanya ditinggalkan dan punah dengan sendirinya. Jadi sesungguhnya tradisi
dapat dipandang sebagai pencerminan dari penghayatan masyarakat tentang nilai
atau ajaran tertentu, yang kemudian diungkapkan dalam peralatan, kesenian,
upacara, norma atau ajaran.
• Menurut Kamus Teologi, tradisi berasal dari bahasa Latin traditio
yang berarti penerusan. Tradisi adalah proses penerusan (tradisi sebagai
tindakan) atau warisan yang diteruskan (tradisi sebagai isi). Kata tradisi
dalam bahasa Yunani yaitu paradosis yang secara harafiah berarti sesuatu yang
telah “diserahkan”, “diteruskan”, “diwariskan”. Gereja Katolik mewarisi
kekayaan tradisi yang luar biasa, walaupun ada juga tradisi yang berubah atau
tidak lagi hidup di kalangan umat.
• Di masa lalu Gereja Katolik pernah mempunyai tradisi-tradisi seperti
puasa selama masa puasa, puasa sebelum menerima Komuni, pantang daging pada
hari Jumat, mengangkat topi pada waktu melewati depan gedung gereja (karena
Sakramen Mahakudus ada di dalamnya), wanita menutup kepala di gereja, dan
lain-lain. Tradisi-tradisi itu pernah menjadi bagian budaya Katolik yang cukup
populer dan tradisi semacam itu ternyata cukup membantu memperkuat identitas
Katolik. Akan tetapi, beberapa diantaranya sudah tidak dipraktikkan oleh Umat.
• Dalam arti yang paling dasar, ”tradisi” merupakan pengalaman iman
bersama jemaat Kristiani, dalam menghayati hidup dan imannya dalam Kristus
berkat persatuannya di dalam Roh Kudus. Pemeliharaan tradisi dalam Gereja
bertujuan agar pewahyuan Allah dipertahankan dan diungkapkan dalam hidup
jemaat. Dan oleh karena Gereja tidak terikat dengan masyarakat, budaya atau
bangsa tertentu, maka penetapan tradisitradisi suci selalu menekankan prinsip
universalitas (berlaku untuk segenap Gereja) berkesinambungan (dari para
saksi/murid Kristus dan para penggantinya), didasari konsesus dalam upaya
menjaga kesatuan Tubuh Kristus.
• Tradisi jauh lebih banyak daripada hormat terhadap hal-hal yang
kuno. Tradisi merupakan kenyataan yang hidup yang menyimpan pengalaman iman
jemaat yang diterima, diwartakan, dirayakan, dan diwariskan kepada
angkatan-angkatan selanjutnya. Konsili Vatikan II memandang penting peran
tradisi ini dalam kehidupan iman Gereja, sebagaimana ditegaskan dalam
Konstitusi tentang Wahyu Ilahi: ”Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta
ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan, dirinya
seluruhnya, iman-nya seutuhnya”. Tradisi ”berkat bantuan Roh Kudus” berkembang
dalam Gereja, ”sebab berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan
maupun katakata yang ditanamkan,” dan ”Gereja tiada hentinya berkembang menuju
kepenuhan kebenaran Ilahi” (Dei Verbum 8).
Macam-macam Tradisi dalam Gereja Katolik
• Sudah kita ketahui bersama, bahwa Tradisi Gereja merupakan
pengalaman iman jemaat Kristiani, atas hidup Kristus, dan persatuannya di dalam
Roh Kudus yang telah diwariskan hingga kini. Pengalaman iman itu diungkapkan
dalam tradisi yang resmi maupun tidak resmi. Tradisi yang resmi adalah Tradisi
Gereja diungkapkan dalam Kitab Suci, dalam syahadat, dalam liturgi, dan dalam
sakramen-sakramen Gereja, serta dalam rumusan doktrinal dari kuasa mengajar
Gereja tertinggi.
• Untuk menjaga Tradisi, Gereja perdana mengumpulkan dan menyusun
tulisan-tulisan suci yang diakui sebagai iman para Rasul oleh semua Gereja ke
dalam kanon Kitab Suci. Kanonisasi Kitab Suci itu menjadi sangat penting
terutama untuk membedakan ajaran-ajaran yang salah dari ajaran-ajaran yang
asli. Gereja perdana juga mengembangkan rumusan syahadat sebagai bentuk
pengakuan iman yang normatif. Dengan cara itu, pewahyuan Allah dipertahankan
dan diungkapkan dalam hidup jemaat.
• Tradisi-tradisi Gereja yang dipertahankan oleh Gereja terutama tradisi
yang tumbuh dan dilakukan dalam kurun waktu yang istimewa, yakni zaman Yesus
dan para rasul, yang disebut zaman Gereja Perdana. Tradisi itu dibangun di atas
dasar para rasul dan nabi dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru (Efesus
2:20). Maka perumusan pengalaman iman Gereja Perdana, yang disebut Kitab Suci
Perjanjian Baru yang ditulis dengan ilham Roh Kudus merupakan pusat dan sumber
seluruh Tradisi. Sebab Kitab Suci Perjanjian Baru mengajarkan dengan teguh dan
setia serta tanpa kekeliruan, kebenaran yang oleh Allah mau dicantumkan di
dalamnya demi keselamatan kita.
• Sesudah Gereja perdana, Tradisi mengolah dan memperdalam ungkapan
iman yang terdapat dalam Kitab Suci: “sebab berkembanglah pengertian tentang
kenyataan-kenyataan serta kata-kata yang diturunkan, baik karena kaum beriman,
yang menyimpannya dalam hati, merenungkan serta mempelajarinya maupun karena
mereka menyelami secara mendalami pengalaman-pengalaman rohani mereka” (DV art.
8). Lebih lanjut konsili menegaskan: jelaslah bahwa Tradisi Suci, Kitab Suci
dan wewenang mengajar Gereja saling berhubungan dan berpadu (DV 10).
• Tradisi Gereja mempunyai dasar dalam Kitab Suci, tetapi tidak
terbatas pada Kitab Suci. Sebaliknya, Tradisi Gereja berusaha terus menghayati
dan memahami kekayaan iman yang terungkap di dalam Kitab Suci. Kekayaan iman
itu salah satunya yang kita sebut syahadat. Di dalam Kitab Suci, kita tidak
menemukan syahadat, tetapi apa yang terungkap dalam syahadat jelas dilandaskan
pada Kitab Suci. Selain dirumuskan dalam syahadat, tradisi Gereja juga
dipelihara dan diungkapkan melalui berbagai bentuk rumusan doktrinal, baik
berupa ensiklik. Rumusan doktrinal tersebut didasari oleh iman Gereja tentang
kuasa mengajar (magisterium), yang diakui tidak mengandung kesesatan apapun.
• Di dalam Gereja kita, juga dikenal Tradisi Gereja yang tidak resmi.
Kita tahu, bahwa Tradisi Gereja itu merupakan pengalaman iman yang dinamis dan
terus berkembang. Pengalaman iman itu diungkapkan pula dalam berbagai bentuk
seni, dari musik, tulisan-tulisan, sastra kekristenan, baik secara populer dari
ajaran para teolog, melalui spiritualitas dan tradisi-tradisi doa, serta
devosi. Tradisi Gereja diungkapkan juga melalui ceritera-ceritera para kudus,
dan hidup orang Kristiani dari masa ke masa.
• Jadi sesungguhnya, kata “tidak resmi” dimaksudkan, bahwa kekayaan
Tradisi Gereja kita ini begitu beragam dan sangat banyak. Kadang ada hal-hal
yang belum bisa tertampung. Tetapi kita tahu, bahwa itu semua hidup dan
berkembang. Tentu perkembangannya tidak jauh dari iman kepercayaan, dan apa
yang telah dibangun Gereja dari masa ke masa. Tradisi Gereja yang tidak resmi
ini biasanya berkembang sesuai dengan budaya di mana jemaat atau umat itu
tinggal. Maka, walaupun sudah diteruskan, sering ada perkembangan yang
disesuaikan dengan hidup dan konteks hidup jemaat. Kita saat ini bisa melihat
ada berbagai macam tradisi yang ada dalam Gereja Katolik. Misalnya saja, gua
natal, ziarah dan devosi ke Gua Maria, dan lain sebagainya.
• Kitab Suci bersama Tradisi Gereja ini merupakan tolok ukur iman
Gereja, sebagaimana dikatakan oleh Konsili Vatikan II: “Kitab-Kitab itu (Kitab
Suci) bersama dengan Tradisi suci selalu dipandang dan tetap dipandang sebagai
norma imannya yang tertinggi” (DV art. 21). Itu berarti iman Gereja, baik iman
Gereja secara keseluruhan (iman objektif) maupun iman dalam arti sikap
masing-masing orang beriman (iman subjektif) diukur kebenarannya berdasarkan
Kitab Suci maupun Tradisi Gereja.
Menghayati Tradisi Gereja
a. Banyak orang setelah melihat pagelaran suatu tradisi tidak merasa
mendapatkan apa-apa; bahkan sekalipun ia ikut terlibat di dalamnya, ia seolah
pulang dengan kosong, kecuali rasa lelah. Tradisi seolah-olah tidak bermakna
bagi hidupnya. Tentu hal tersebut sangat disayangkan. Oleh karena itu, supaya
kalian tidak jatuh pada pengalaman yang sama, rumuskan bersama teman-temanmu:
sikap dan tindakan apa yang perlu dikembangkan agar kita semakin menghayati
tradisi yang ada?
Salah satu bentuk tradisi adalah sakramen; yang salah satunya
adalah Sakramen Ekaristi.
• Tradisi Gereja merupakan bentuk pengungkapan atas penghayatan iman
Gereja, maka sesungguhya Tradisi merupakan sarana agar iman Gereja makin
berkembang. Tetapi itu semua dapat terjadi bilamana umat turut menghidupi
Tradisi tersebut. Kata “menghidupi” dapat diartikan: turut memahami maknanya,
turut memelihara, dan menjalankannya.
• Dalam menjalankan Tradisi umat perlu melaksanakannya dengan
sungguh-sungguh dengan penuh penghayatan, bukan sekedar ikutikutan, bukan pula
sekedar kebiasaan. Bila tradisi dijalankan tanpa dipahami maknanya, maka tidak
akan berdampak apa-apa pada sikap iman dan tindakan hidup sehari-hari.
Kitab Suci
Perjanjian Baru
Tidaklah mudah bagi seseorang untuk memahami isi sebuah tulisan yang
sudah berusia sekitar 2000 tahun yang lalu. Apalagi isi tulisan tersebut
tentang tokoh dan kelompok masyarakat tertentu, yang tinggal di wilayah
tertentu dengan konteks geografis, sosial budaya, sosial politik dan sosial
keagamaan tertentu yang berbeda dengan si pembaca. Kesulitan yang sama sering
dikeluhkan sebagian Umat, terutama ketika mereka berhadapan dengan Kitab Suci
Perjanjian Baru. Tetapi kesulitan tidak identik dengan jalan buntu. Siapapun
yang hendak mempelajari Kitab Suci Perjanjian Baru dapat masuk dan sampai pada
alam pikiran Perjanjian Baru, bila ia berusaha keras disertai keyakinan pada
Roh Kudus sendiri yang akan membimbingnya.
Dari keseluruhan isi Kitab Suci Perjanjian Baru tampaklah dengan
jelas, bahwa para penulis tidak pertama-tama hendak mewariskan kronologis
peristiwa sejarah seperti Yesus Kristus dan kehidupan Gereja Perdana. Yang
mereka ungkapkan terutama pengalaman iman akan Yesus. Mereka sebagai saksi mata
peristiwa Yesus Kristus sebagai tokoh sentral.
Melalui pergaulan dan kebersamaan dengan Yesus Kristus, baik langsung
maupun tidak langsung, mereka pada akhirnya mengimani Yesus Kristus sebagai
Anak Allah dan Juru Selamat yang sekaligus menjadi pemenuhan janji penyelamatan
Allah kepada manusia, sebagaimana telah dipersiapkan dan diwartakan dalam
Perjanjian Lama. Pada dasarnya pengalaman iman para penulis akan Yesus Kristus
tidaklah sama, karena sangat dipengaruhi oleh berbagai macam latar belakang
yang melekat pada diri penulis sendiri. Itulah sebabnya gaya, cara, dan isi
pengalaman iman yang mereka sampaikan mempunyai penekanan yang berbeda satu
terhadap yang lain.
Konsekuensi dari itu semua, bila manusia sekarang ingin memahami isi
pesan Kitab Perjanjian Baru maka disarankan agar mereka mencoba memahami
konteks kemasyarakatan dan keagamaan masyarakat dan para penulis. Walaupun
demikian, pemahaman akan konteks bukan hal mutlak, sebab yang paling penting
adalah bagaimana kita menempatkan Perjanjian Baru sebagai cara Allah
menyampaikan kehendakNya melalui ungkapan pengalaman orang-orang yang hidup
pada zaman tertentu.
Di tengah berbagai kesulitan yang dialami Umat dalam membaca dan
memahami isi pesan Kitab Perjanjian Baru, Konsili Suci mendesak dengan sangat
semua orang beriman supaya sering kali membaca Kitab-Kitab ilahi untuk
memperoleh pengertian yang mulia akan Yesus Kristus (Dei Verbum Art. 25). Santo
Paulus pun dalam suratnya yang kedua kepada Timotius mengatakan bahwa “segala
tulisan yang diilhamkan Allah (Kitab Suci) memang bermanfaat untuk mengajar,
untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik
orang dalam kebenaran” (lihat 2 Timotius 3: 26). St. Hironimus berkata “Tidak
mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus.”
Istilah Perjanjian Baru
Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru-walaupun sama-sama Sabda Allah
merupakan dua Kitab yang berbeda. Perbedaan dapat dilihat dalam perjanjian itu.
Buku yang lama (PL) berbicara mengenai perjanjian Tuhan dengan bangsa Israel;
sedangkan buku kedua, yang sekarang disebut PB, berbicara mengenai perjanjian
Tuhan dengan umat manusia seluruhnya dalam diri Yesus dari Nazaret. Sebetulnya
harus dikatakan bahwa apa yang disebut “PB” tidak banyak bicara mengenai
“perjanjian.” PB sebetulnya tidak banyak bicara mengenai perjanjian, melainkan
mengenai Yesus. Namun adalah kekhususan dari PB, bahwa melihat diri sebagai
lanjutan dari PL. Ada suatu kesinambungan. Maka kedua-duanya dilihat sebagai
perjanjian Tuhan dengan umat manusia. Cuma dalam fase pertama, atau dalam
perjanjian yang lama itu, perjanjian masih dibatasi pada bangsa Israel,
sedangkan dalam periode kedua, yang disebut “perjanjian yang baru,” hubungan
itu diperluas kepada umat manusia seluruhnya. Maka isi daripada kata
“perjanjian” lebih jelas dalam PL, tetapi lebih mendalam dalam PB. Dalam PB
Tuhan berhubungan dengan umat manusia bukan lagi melalui suatu naskah
perjanjian, melainkan melalui Putera-Nya sendiri ialah Tuhan kita Yesus
Kristus.
Proses penyusunan Kitab Suci Perjanjian Baru
Ke 27 Kitab dalam Perjanjian Baru, tentu saja tidak langsung jadi,
tetapi melalui proses yang kurang lebih 100 tahun. Ketika Yesus masih hidup,
tidak seorangpun di antara murid-murid-Nya yang terpikir untuk mencatat tentang
apa yang Ia lakukan atau Ia katakan, atau segala sesuatu tentang kehidupan-Nya.
Mereka hanya ingin menjadi murid Yesus yang mengikuti Yesus ke manapun Ia
pergi, mereka tinggal bersama Yesus, mereka belajar mendengarkan ajaran-Nya,
dan menyaksikan tindakan Yesus.
Baru sesudah Yesus dibangkitkan, mereka mulai merasakan arti kehadiran
Yesus bagi hidup mereka, dan bagi banyak orang yang selama ini mengikuti Yesus
percaya kepada-Nya. Sesudah Yesus bangkit, para murid mulai sadar, bahwa Ia
yang selama ini diikuti adalah sosok yang menjadi kegenapan janji Allah,
sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Peristiwa Pentakosta seolah membakar hati
mereka untuk mulai berani bercerita kepada banyak orang tentang siapa Yesus
sesungguhnya. Berkat Pentakosta, mereka mulai keluar dari persembunyian, dan
pergi ke berbagai tempat menceritakan secara lisan tentang ajaran, karya
(mukjizat-mukjizat), serta hidup Yesus.
Dari situ terbentuklah semakin banyak kelompok orang yang percaya
kepada Yesus di berbagai kota, tapi sampai ke wilayah di luar Palestina. Karena
orang-orang yang percaya kepada Yesus itu tersebar di berbagai kota, dan tidak
selamanya para rasul bisa hadir di tengah mereka, maka kadangkadang komunikasi
dilakukan melalui surat. Surat itu bisa berisi wejangan untuk menyelesaikan
masalah atau pengajaran atau cerita-cerita tentang kehidupan Yesus. Baru
sesudah para murid meninggal dan umat yang percaya kepada Yesus Kristus semakin
banyak, muncullah kebutuhan akan tulisan baik mengenai hidup Yesus, karya-Nya,
sabda-Nya maupun akhir hidup-Nya. Berkat bimbingan Roh Kudus, mereka menuliskan
kisah tentang Yesus berdasarkan cerita-cerita dari para saksi mata, para
pengikut-Nya yang sudah beredar dan berkembang luas di tengah-tengah (bacalah
Lukas 1:1-4). Tentu tulisantulisan tersebut dipengaruhi oleh kemampuan, iman
dan maksud serta tujuan penulis serta situasi jemaat yang dituju oleh tulisan
itu.
Oleh sebab itu, kita tidak perlu heran jika tulisan-tulisan dari para
penulis tentang Yesus tersebut terdapat perbedaan. Sebab, mereka bukan menulis
suatu laporan atau sejarah tentang Yesus melainkan melalui tulisan itu mereka
mau mewartakan iman mereka (dan iman jemaat) akan Yesus Kristus, sebagai Tuhan
dan Juru Selamat.
Untuk memahami lebih dalam tentang proses tersusunnya tulisan-tulisan
mengenai Yesus Kristus, kita harus mulai dari periode hidup Yesus sampai
pembentukan kanon Perjanjian Baru.
Antara tahun 7/6 sebelum Masehi (SM) - 30 sesudah Masehi (M)
a.
Yesus lahir sekitar tahun 7/6 SM*, dibesarkan di
desa Nazaret wilayah Galilea. Ia seorang Yahudi yang saleh yang menaati hukum
dengan penuh semangat (bandingkan Matius 5:17). Sekitar tahun 27/28 Masehi
Yesus dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis. Kemudian la berkarya
sebentar seperti Yohanes Pembaptis, yaitu bersama dengan murid-murid-Nya
membaptis (bandingkan Yohanes 3:22-26), tetapi kemudian Ia berkeliling di
seluruh Galilea dan Yudea untuk mewartakan Kerajaan Allah. Ketika Yesus lahir
dan tampil di depan umum, Palestina berada di bawah kekuasaan Roma dipimpin
oleh Agustus dan di Palestina dipimpin oleh Herodes Agung.
b.
Dalam situasi seperti itu ada suasana kebencian
di kalangan orang Yahudi terhadap penjajah Roma. Sementara itu dalam kehidupan
Umat Yahudi sejak lama tumbuh keyakinan bahwa Allah mereka adalah Allah yang
setia dan selalu terlibat dalam seluruh kehidupan umat-Nya. Dalam kondisi
dijajah oleh bangsa lain mereka menaruh harapan pada Allah yang akan
membebaskan mereka dari derita dan penjajahan. Campur tangan Allah itu diyakini
akan dilaksanakan melalui seorang tokoh yang disebut Mesias. Mesias digambarkan
sebagai utusan Allah, seorang pahlawan yang akan membebaskan Israel dari
penjajah dan antek-anteknya. Maka timbullah berbagai gerakan mesianisme. Salah
satu gerakan mesianisme bercorak keagamaan adalah seperti yang dirintis
Yohanes. Yohanes mewartakan bahwa Allah akan memenuhi janji-Nya, bilamana
bangsa Israel bertobat sebagaimana dituntut oleh para nabi (Matius 3:1-12).
Yohanes juga memberitakan tentang Yesus sebagai utusan Allah yang akan membawa
pembebasan bagi mereka. Seruan pertobatan Yohanes ditanggapi bangsa Israel.
Mereka memberi diri dibaptis oleh Yohanes sebagai tanda pertobatan. Yesus pun
mengikuti mereka sebagai tanda solidaritas dengan mereka.
c.
Setelah dibaptis oleh Yohanes, Yesus meneruskan
pesan yang sudah diserukan oleh Yohanes. Tetapi gambaran Yohanes tentang diri
Yesus sebagai Mesias berbeda dengan yang dipahami Yesus sendiri. Yohanes
menggambarkan bahwa campur tangan Allah akan terlaksana secara mengerikan,
sedangkan Yesus menyatakan campur tangan Allah sebagai kabar baik sebagaimana
dinyatakan oleh para nabi (bandingkan Yesaya 40:11; 52:7-10), yakni hidup,
sabda dan karyaNya.
d.
Dalam mewartakan misinya sebagai Mesias, Yesus
kerap mengajar dengan menggunakan perumpamaan agar mudah ditangkap oleh
orang-orang sederhana. Namun demikian semua disampaikan dengan kewibawaan
Ilahi. Itulah sebabnya Yesus selalu bersabda: “Aku berkata kepada-mu... (Markus
1:27). Yesus juga tampil dengan gaya dan cara hidup yang berbeda dengan orang
lain. Kerap kali Ia “melanggar” kaidah-kaidah umum yang berlaku, misalnya:
menyembuhkan orang pada hari Sabat, bergaul dengan orang-orang berdosa, makan
bersama atau mengadakan perjamuan dengan orang-orang yang oleh masyarakat dicap
sebagai sampah masyarakat (pendosa), Yesus banyak melakukan mukjizat,
mengampuni dosa atau membangkitkan orang mati (yang menurut pandangan banyak
orang hal itu hanya bisa dilakukan oleh Allah). Sebagian orang yang melihat
tindakan Yesus semakin mengagumi Dia, dan semakin membuat orang bertanya-tanya
siapa sebenarnya Dia ini? (bandingkan Markus 8:27-30 dan Injil lain). Tetapi
hal yang sama membuat kebencian Kaum Farisi, khususnya para Imam dan ahli
Taurat. Yesus dianggap oleh mereka menghojat Allah. Kendati demikian, Yesus
tidak takut dan tetap mewartakan kedatangan Kerajaan Allah dan mengajak setiap
orang yang mendengar-Nya bertobat dan percaya kepada Injil.
e.
Kebencian para pemimpin agama dan kaum Farisi
tampak dalam tindakan mereka yang selalu menguji Yesus untuk mencari
kesalahanNya. Bahkkan diceritakan, bahwa beberapa kali mereka bersekongkol
untuk membunuh Yesus, tetapi Yesus berhasil menyingkir, meloloskan diri (Matius
12:14). Hingga pada akhirnya, mereka menggunakan kesempatan perayaan Paska
untuk menangkap Yesus. Yesus ditangkap kemudian diadili oleh pengadilan Agama
(Sanhedrin) di sini Yesus diputuskan untuk dihukum mati. Maka mereka membawa
Yesus kepada penguasa Romawi (Ponsius Pilatus) untuk mengizinkan menghukum mati
Yesus. Atas desakan orang banyak, akhirnya Ponsius Pilatus menjatuhkan hukuman
mati di kayu salib. Kemungkinan besar hal itu terjadi sekitar tanggal 7 April
tahun 30 M.
f.
Sejak penangkapan Yesus di Taman Getsemani,
murid-murid yang selama ini selalu bersama-sama dengan Dia sangat ketakutan.
Petrus menyangkal, para murid yang lain entah ke mana. Yesus harus menghadapi
pengadilan sendirian bahkan berjalan salib tanpa mereka. Sampai akhirnya Yesus
wafat di Salib. Sesaat seolah-olah apapun tentang Yesus lenyap ditelan bumi.
Para murid bersembunyi di rumahrumah, tidak berani tampil di muka umum. Titik
balik mulai muncul, ketika tiga hari kemudian mereka mendapati Yesus bangkit.
Tidak ada laporan dan kesaksian yang utuh tentang kebangkitan Yesus. Mereka hanya
menceritakan tentang makam Yesus yang kosong, dengan hanya menyisakan kain
kafan, serta malaikat yang memberitakan kabangkitan Yesus. Beberapa waktu
kemudian, mengalami beberapa kali penampakan Yesus. Mereka mengalami seolah
Yesus yang hadir dalam wujud mulia.
g.
Kebangkitan Yesus itu memperkokoh iman mereka.
Mereka menjadi semakin percaya bahwa Yesus sungguh-sungguh Mesias, Putera
Allah, Tuhan dan Penyelamat. Mereka semakin yakin akan segala sesuatu yang
telah diwartakan Perjanjian Lama tentang Mesias, dan hal itu dilihat sebagai
terlaksana dalam diri Yesus. Keyakinan baru ini dirasakan mereka sebagai datang
dari Allah sendiri, bukan hasil olah pikir mereka. Lebih-lebih berkat
Pentakosta keyakinan dan keberanian itu semakin menguatkan mereka untuk memberi
kesaksian kepada semua orang.
Antara Tahun 40 - 120 Masehi: penyusunan dan penulisan Kitab Suci
Perjanjian Baru.
a.
Karangan tertua dari Kitab Suci Perjanjian Baru
adalah 1 Tesalonika (ditulis sekitar tahun 40 an) sedangkan yang paling akhir
adalah 2 Petrus (tahun 120-an)
b.
Yesus pasti tidak menulis apapun yang berkaitan
dengan karya dan sabdasabda-Nya, tidak juga menyuruh para murid-Nya untuk
menuliskannya, meskipun Ia bisa membaca dan menulis (lihat Lukas 4:17-19 dan
Yohanes 8:6). Ia hanya berkeliling mengajar dan berbuat baik (menyembuhkan,
mengusir setan dan sebagainya) di dalam pengajaran-Nya Yesus kerapkali
menggunakan Kitab Suci, tetapi Kitab Suci yang la gunakan adalah Kitab Suci
Perjanjian Lama. Namun karena sabda-Nya dan hidup-Nya serta karya-Nya begitu
mengesankan dan berwibawa maka banyak orang tertarik dan mengikuti Yesus.
Lebih-lebih setelah kebangkitan, di mana Yesus diakui dengan berbagai macam
gelar (Kristus, Tuhan, Juru Selamat dan sebagainya), maka para pengikutnya
mulai meneruskan apa yang telah dimulai oleh Yesus. Mereka berkeliling tidak
hanya di Palestina tetapi sampai di luar Palestina, untuk mewartakan karya
keselamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus Kristus.
c.
Mula-mula para murid mulai mewartakan Yesus
secara lisan. Inti pewartaan pada mulanya adalah wafat dan kebangkitan-Nya
(bdk. Kisah Para Rasul: Khotbah Petrus pada hari Pentakosta, Kisah Para Rasul
2). Kemudian pewartaan itu berkembang dengan mewartakan juga hidup, karya dan
sabda-Nya dan yang terakhir adalah masa muda-Nya atau masa kanak-kanak-Nya.
Semua diwartakan dalam terang kebangkitan, karena kebangkitan Kristus merupakan
dasar dari iman kepada Yesus Kristus.
d.
Setelah komunitas jemaat berkembang di berbagai
kota maka seringkali para Rasul berhubungan dengan komunitas tersebut melalui
utusan dan surat-surat (Kisah Para Rasul 15:2. 20-23). Itulah sebabnya karangan
yang tertua dan tertulis adalah dalam bentuk surat (lihat poin 1).
e.
Karena banyak komunitas yang perlu untuk terus
dibina, sementara para saksi mata jumlahnya terbatas, maka mulailah juga
ditulis beberapa pokok iman yang penting, seperti kisah kebangkitan, sengsara,
sabdasabda Yesus dan karya Yesus dengan maksud untuk membina mereka.
f.
Setelah generasi pertama mulai menghilang, maka
dibutuhkan tulisantulisan tentang Yesus yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka
muncullah karangan-karangan yang masih berupa fragmen-fragmen: kisah sengsara,
mukjizat--mukjizat, kumpulan sabda, kumpulan perumpamaan, dan sebagainya. Dari
situ akhirnya disusunlah injil-injil dan kisah para rasul, sampai akhirnya
seperti yang kita miliki sekarang ini. Injil itu disusun berdasar atas tradisi,
baik lisan maupun tertulis dan yang disesuaikan dengan maksud dan tujuan
penulis serta situasi jemaat.
Antara tahun 120 - 400 Masehi: pembentukan kanon (Daftar resmi
Kitab Suci Perjanjian Baru).
a.
Pada awal abad kedua sampai akhir abad kedua
muncul begitu banyak tulisan tentang Yesus, yang membingungkan umat beriman.
Dalam situasi seperti itu umat mulai mencari kepastian, manakah Kitab-Kitab
yang membina iman sejati.
b.
Untuk mengatasi hal tersebut pada akhir abad
kedua mulai tahun 200, beberapa tokoh penting mulai menyaring karangan-karangan
yang ada. Mereka menyusun daftar karangan yang berwibawa dan layak disebut
Kitab Suci. Sementara karangan-karangan yang menyeleweng dari iman sejati
ditolak. Salah satu daftar yang terkenal pada saat itu adalah kanon Muratori.
c.
Sekitar tahun 254, Origines, memberikan daftar
kisah yang umum diterima dan daftar Kitab-Kitab yang harus ditolak. Juga
Eusebius pada tahun 303 menyajikan Kitab yang umum diterima dan sejumlah
karangan yang mesti ditolak. Pada tahun 300 secara umum yang sudah diterima
sebagai Kitab Suci adalah: 4 injil seperti sekarang; 13 surat Paulus, Kisah
Para Rasul, 1 Petrus, 1 Yohanes dan Wahyu
d.
Pada tahun 400, barulah perbedaan pendapat dalam
hal jumlah Kitab Suci hampir hilang seluruhnya. Pada tahun 367 Batrik
Aleksandria yang bernama Atanasius menyusun daftar Kitab Suci yang termasuk
Perjanjian Baru. Jumlahnya 27 seperti yang kita miliki sekarang. Demikian juga
Konsili Hippo (393) dan Karthago (397) menetapkan daftar yang sama.
Kitab-kitab dalam Kitab Suci Perjanjian Baru
Gereja Katolik mengakui bahwa jumlah tulisan atau Kitab dalam
Perjanjian Baru ada 27 tulisan atau Kitab. Semua Kitab pada intinya berbicara
tentang Yesus Kristus karya-Nya, sabda-Nya, tuntutan-Nya dan hidup-Nya, dengan
cara dan gaya penulisan masing-masing. Meskipun Perjanjian Baru berpusat pada
Yesus Kristus, namun di dalamnya juga tercantum beberapa hal mengenai mereka
(jemaat perdana) yang percaya kepada Yesus Kristus. Secara umum, Kitab Suci
Perjanjian Baru bentuknya bersifat kisah (baik perjalanan atau mukjizat)
perumpamaan, ajaran, surat dan nubuat.
Keempat Injil
Kitab Suci Perjanjian Baru dibuka dengan empat tulisan yang disebut
Injil (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes). Sebagian besar isinya berupa cerita
mengenai Yesus selagi hidup di dunia, karya-Nya, wejangan-wejangan-Nya dan
perjuangan-Nya. Tulisan mereka berhenti dengan kisah tentang Yesus yang
menampakkan diri sesudah bangkit dari antara orang mati. Mengingat isinya, maka
keempat Kitab Injil itu dipandang sebagai Kitab yang paling utama (paling
penting).
Kisah Para Rasul
Kisah Para Rasul” sebenarnya bukan berisi kisah tentang semua rasul,
melainkan lebih bercerita tentang apa yang terjadi setelah Yesus wafat dan
bangkit. Intinya, berkisah tentang munculnya jemaat kristen pertama dan
perkembangannya selama kurang lebih 30 tahun dengan dua tokoh utama yaitu
Petrus dan Paulus
Surat-surat
Tulisan berikutnya adalah 21 tulisan
yang gaya penulisannya semacam “surat”. Isinya lebih merupakan wejangan,
anjuran dan ajaran yang bermacammacam tentang hidup sesuai dengan Yesus
Kristus. Wejangan, anjuran dan ajaran itu diajarkan oleh Santo Paulus, Yakobus
dan tokoh-tokoh lain yang ditujukan kepada jemaat tertentu atau orang tertentu.
Wahyu
Tulisan terakhir adalah Kitab Wahyu Yohanes. Kitab ini berisi
serangkaian penglihatan mengenai hal ihwal umat Kristen dan dunia seluruhnya.
Kitab ini terarah ke masa depan atau akhir zaman, dan sekaligus merupakan
rangkuman atau penegasan tentang karya keselamatan Allah.
Secara detail bagian-bagiannya adalah sebagai berikut:
INJIL
|
KISAH PARA RASUL
|
SURAT-SURAT
|
WAHYU (NUBUAT)
|
1.
Matius
2.
Markus
3.
Lukas
4. Yohanes
|
Kisah Para Rasul
|
1.
Roma
2.
Korintus I
3.
Korintus II
4.
Galatia
5.
Efesus
6.
Filipi
7.
Kolose
8.
Tesalonika I
9.
Tesalonika II
10.
Timotius I
11.
Timotius II
12. Tius
13. Filemon
14.
Ibrani
15.
Yakobus
16.
Petrus I
17.
Petrus II
18.
Yohanes I
19.
Yohanes II
20.
Yohanes III
21.
Yudas
|
Wahyu Kepada Yohanes
|
Bacalah teks dibawah ini:
• Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi menegaskan bahwa: Kitab Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru ditulis di bawah bimbingan Roh Kudus; Allah adalah
pengarang yang benar dan “harus diakui bahwa Alkitab mengajarkan dengan teguh
dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya
dicantumkan dalam KitabKitab Suci demi keselamatan kita” (DV art. 11). Untuk
itu ia menjadi norma bagi iman dan ajaran Kristiani, serta sebagai sabda Allah
yang merupakan sumber yang kaya bagi doa pribadi.
• Santo Paulus dalam suratnya kepada Timotius menegaskan, “segala
tulisan yang diilhamkan oleh Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk
menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam
kebenaran” (2 Timotius 3:16-17).
• St. Hironimus mengatakan, “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak
mengenal Kristus”. Kutipan inilah yang akhirnya juga dikutip kembali oleh
Konsili Vatikan II dalam dokumen Dei Verbum. Kutipan itu hendak menegaskan
bahwa sarana utama untuk dapat mengenal Kristus adalah Kitab Suci.
• “Konsili mendesak dengan sangat semua orang beriman supaya
seringkali membaca Kitab-Kitab Ilahi untuk memperoleh pengertian yang mulia
akan Yesus Kristus” (DV art. 25).
• “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya
pendengar saja, sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (Yakobus
1:22) DRAFT 10 MARET 2016 138 Buku Guru Kelas X SMA/SMK e. Setelah kalian
membaca uraian di atas, coba rumuskan: alasan pentingnya membaca Kitab Suci
Perjanjian Baru. f. Bila dipandang perlu guru dapat menyampaikan beberapa gagasan
berikut:
Pentingnya Mendalami Kitab Suci Perjanjian Baru
• Para penulis Kitab Suci berkat ilham Roh Kudus, menuliskan kesaksian
imannya dalam Kitab Suci untuk semua orang yang beriman. Ia tidak menyusun buku
untuk pajangan atau hiasan. Dengan kata lain, Kitab Suci Perjanjian Baru
menjadi benar-benar kitab yang bermakna dan kitab yang hidup bila dibaca dan
direnungkan, serta nilai-nilainya diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
• Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi menegaskan bahwa: Kitab
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditulis di bawah bimbingan Roh Kudus; Allah
adalah pengarang yang benar dan “harus diakui bahwa Alkitab mengajarkan dengan
teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki
supaya dicantumkan dalam Kitab-Kitab Suci demi keselamatan kita” (DV art. 11).
Untuk itu menjadi norma bagi iman dan ajaran Kristiani, serta sebagai sabda
Allah yang merupakan sumber yang kaya bagi doa pribadi.
• Ada beberapa alasan perlunya kita membaca dan mendalami sabda Tuhan
yang terdapat dalam Kitab Suci tersebut. Pertama, iman kita akan tumbuh dan
berkembang dengan membaca Kitab Suci. Santo Paulus dalam suratnya kepada
Timotius menegaskan, “segala tulisan yang diilhamkan oleh Allah memang
bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki
kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16-17). Kedua, kita
tidak akan mengenal Kristus jika kita tidak membaca Kitab Suci. St. Hironimus
mengatakan, “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus”. Kutipan
inilah yang akhirnya juga dikutip kembali oleh Konsili Vatikan II dalam dokumen
Dei Verbum. Kutipan itu hendak menegaskan bahwa sarana utama untuk dapat
mengenal Kristus adalah Kitab Suci. Ketiga, Kitab Suci adalah buku Gereja, buku
iman Gereja. Kitab Suci adalah sabda Allah dalam bahasa manusia, Gereja
menerimanya sebagai yang suci dan ilahi karena di dalamnya mengandung sabda
Allah. Dan sebab itu, Kitab Suci (Alkitab) bersama Tradisi menjadi tolok ukur
tertinggi bagaimana kita mengenal iman Gereja. Untuk itu, Gereja menghendaki
agar kita semua semakin membaca dan mendalami Kitab Suci, seperti ditegaskan
oleh bapa-bapa Konsili: “Konsili mendesak dengan sangat semua orang beriman
supaya seringkali membaca Kitab-Kitab Ilahi untuk memperoleh pengertian yang
mulia akan Yesus Kristus” (DV art. 25). Pun pula, melalui Kitab Suci ini, kita
juga dapat semakin mendekatkan diri dengan saudara-saudara kita dari
Gereja-gereja Kristen lain.
• Karena Kitab Suci adalah Sabda Allah , maka untuk dapat menangkap
isi pesannya hanya mungkin dibaca dan direnungkan dengan iman kepercayaan, dan
bahwa dalam Kitab Suci itu Allah sungguh hadir dan bersabda. Kita juga perlu
membaca Kitab Suci dengan doa dengan berharap bahwa apapun yang difirmankan
Allah mampu kita terima, entah itu nasehat, teguran, atau peneguhan untuk hidup
iman kita. Kita perlu membaca Kitab Suci disertai dengan kesediaan untuk
bertobat, membiarkan hidup kita siap diperbaharui, diubah dari dalam sampai
keakar-akarnya, sehingga dalam kehidupan selanjutnya kita menjalani hidup baru
dan meninggalkan dosa. Dan yang paling penting adalah kemauan mewujudkan firman
Allah dalam kehidupan sehari-hari. “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman
dan bukan hanya pendengar saja, sebab jika tidak demikian kamu menipu diri
sendiri” (Yakobus 1:22)
• Memang untuk mencapai hasil maksimal dari manfaat membaca Kitab Suci
tidak bisa diraih dengan mudah. Kita membutuhkan ketekunan yang terus menerus,
sampai menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Andaikan setiap orang selalu merasa
haus untuk selalu menimba kekuatan dari firman-Nya, betapa indah hidup ini.
Kitab Suci
Perjanjian Lama
Bagi umat beriman Kitab Suci memegang peranan yang sangat penting. Ia
menjadi sumber tertulis yang utama untuk memahami karya penyelamatan Allah kepada
manusia sepanjang zaman. Ia juga menjadi sumber referensi dan inspirasi untuk
mengembangkan imannya. Karena kedudukan dan perannya yang sangat penting itu,
maka setiap orang beriman perlu memahami Kitab Suci secara benar.
Pemahaman tersebut akan berpengaruh pada sikap dan tindakan orang
beriman dalam mendudukkan dan memperlakukan Kitab Suci bagi kehidupan
berimannya. Pemahaman yang benar itu menyangkut pemahaman tentang sejarah
terjadinya, latar belakang atau konteks sejarah saat Kitab Suci itu disusun,
latar belakang penulisnya, jenis sastra dalam penulisannya, isi dan maksud
penulisannya Kitab Suci Perjanjian Lama seperti yang dimiliki umat Kristiani
saat ini disusun melalui proses yang panjang sekitar lebih dari sepuluh abad,
sejak abad XI SM sampai kurang lebih abad I Sesudah Masehi.
Pada mulanya berupa kumpulan cerita-cerita tentang pengalaman bangsa
Israel dalam hubungannya dengan sejarah bangsanya dan sekaligus peranan serta
kehadiran Allah dalam seluruh perjalanan hidup mereka. Pengalaman-pengalaman
penyelamatan Allah sepanjang sejarah mereka itu diceritakan kepada anak cucu
mereka secara turuntemurun. Hingga suatu saat ada orang-orang tertentu, yang
mendapat ilham Roh Kudus menyusun dan menuliskannya menjadi sebuah buku utuh
seperti yang kita miliki sekarang ini.
Dokumen Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi (Dei Verbum), artikel
16, menyatakan sebagai berikut: Allah, pengilham dan pengarang kitab-kitab
Perjanjian Lama maupun Baru, dalam kebijaksanaan-Nya mengatur (Kitab Suci)
sedemikian rupa, sehingga Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama dan
Perjanjian Lama terbuka dalam Perjanjian Baru. Sebab meskipun Kristus
mengadakan Perjanjian yang Baru dalam darah-Nya (lihat Lukas 22:20; 1Korintus
11:25), namun Kitab-kitab Perjanjian Lama seutuhnya ditampung dalam pewartaan
Injil, dan dalam Perjanjian Baru memperoleh dan memperlihatkan maknanya yang
penuh (lihat Matius 5:17; Lukas 24:27; Roma 16:25-26; 2Korintus 3:14- 16) dan
sebaliknya juga menyinari dan menjelaskan Perjanjian Baru.
Makna istilah “Perjanjian Lama”
• Istilah “Perjanjian Lama” dipergunakan untuk membedakan dengan
“Perjanjian Baru”. Dalam sejarah keselamatan, relasi manusia dengan Allah
diikat dengan perjanjian, yang dalam Perjanjian Lama manusia diwakili oleh
bangsa Israel, teristimewa melalui para pemimpin mereka. Perjanjian itu adalah
perjanjian kasih yang menyelamatkan. Dalam perjanjian itu, Allah berjanji akan
senantiasa menyelamatkan manusia, dan dari pihak manusia Allah menuntut
kesetiaan.
• Sayangnya kesetiaan Allah itu seringkali dibalas dengan
ketidaksetiaan Israel. Maka Allah yang adalah setia tetap menjanjikan
penyelamatan pada manusia dengan cara memperbaharui perjanjian melalui putraNya
sendiri Yesus Kristus. Maka Perjanjian Lama menunjuk pada perjanjian antara
manusia dengan Allah sebelum Kristus.
• Walaupun “Perjanjian Lama” pada dasarnya belum sempurna dan telah
ternodai, namun apa yang diungkapkan di dalamnya tetap penting, sebab ia
mengungkapkan kepada manusia semua orang pengertian tentang Allah dan manusia
serta cara-cara Allah yang adil dan rahim; bergaul dengan manusia. Meskipun
juga mencantumkan hal-hal yang tidak sempurna dan bersifat sementara,
Kitab-Kitab memaparkan cara pendidikan ilahiah yang sejati. Maka Kitab-Kitab
itu mengungkapkan kesadaran hidup akan Allah, yang mencantumkan ajaran-ajaran
yang luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan tentang
perikehidupan manusia, pun juga perbendaharaan doa-doa yang menakjubkan. Dan
terutama, karena di dalamnya memuat janji kedatangan Kristus Penebus,
mempersiapkan warta, Kerajaan Allah, yang dinyatakan dalam nubuatnubuat (lihat
Lukas 24:44 Yohanes 5:39; 1Petrus 1:10), dengan pelbagai lambang (lih.
1Korintus 10:11)
• Ini pula yang menjadi dasar
Paulus ketika ia mengatakan: “Tetapi pikiran mereka telah menjadi tumpul, sebab
sampai pada hari ini selubung ini masih tetap menyelubungi mereka, jika mereka
membaca Perjanjian Lama itu tanpa disingkapkan, karena hanya Kristus saja yang
dapat menyingkapkannya (2 Korintus 3:14). Maka “perjanjian lama” hanya mungkin
dipahami bila kita juga memahami “perjanjian baru” dalam Kristus. g. Masuklah
dalam kelompok, carilah dari berbagai sumber hal-hal yang berkaitan dengan
Kanonisasi dan Kitab Deuterokanonika, Proses Penyusunan Perjanjian Lama, Proses
Penyusunan Kitab Suci Perjanjian Lama
• Kitab –kitab yang termasuk dalam Kitab Suci Perjanjian Lama itu ada
46. Tentu saja kitab-kitab itu tidak ditulis dalam waktu bersamaan, melainkan
melalui suatu proses panjang. Berikut ini garis besar proses tersusunnya Kitab
Suci Perjanjian Lama.
• Secara garis besar Kitab Suci Perjanjian Lama memuat dua bagian
besar, yakni Kitab Prasejarah dan Kitab Sejarah. Kitab Prasejarah, mulai dari
Kisah Penciptaan sampai dengan Menara Babel (Kejadian 1-11), sedangkan Kitab
Sejarah Israel mulai dari Abraham yang hidup sekitar tahun 2000/1800 sebelum
Masehi sampai menjelang Yesus Kristus. Namun, sejarah yang ditulis dalam
Perjanjian Lama lebih merupakan sejarah iman. Maka, untuk mengetahui proses
terjadinya Kitab Suci Perjanjian Lama, sebaiknya dimulai dengan awal sejarah
Israel yaitu sekitar tahun 1800 sebelum Masehi.
Maka untuk mengetahui proses tersusunnya Kitab Suci Perjanjian Lama,
proses akan dimulai pada saat awal sejarah Israel, yaitu sekitar tahun 1800 SM
a.
Antara tahun 1800 - 1600 S.M.: Zaman Bapa-bapa
bangsa (Abraham–Ishak–Yakub). Periode ini adalah awal sejarah bangsa Israel
yang dimulai dari panggilan Abraham sampai dengan kisah tentang Yakub. Dalam
tahun inilah Bapa-bapa bangsa hidup. Sebagian kisah mereka tersimpan dalam Kej 12
- 50. Kisah ini kemudian diteruskan secara lisan turun temurun.
b.
Antara tahun 1600 - 1225 S.M.: Kisah bangsa
Israel mengungsi ke Mesir, perbudakan di Mesir, pembebasan dari Mesir sampai
Perjanjian di Sinai. Kisah-kisah tersebut juga masih disampaikan secara lisan.
Mungkin sekali 10 perintah Allah dalam rumusan yang pendek sudah ditulis pada
masa ini sebagai pedoman hidup.
c.
Antara tahun 1225 - 1030 S.M.: Perebutan tanah
Kanaan dan zaman Hakim-Hakim. Pada periode ini, bangsa Israel merebut tanah
Kanaan yang diyakini sebagai Tanah Terjanji di bawah pimpinan Yosua dan
kehidupan bangsa Israel di tanah yang baru di bawah para tokoh yang diberi
gelar Hakim. Hakim-hakim itu antara lain adalah Debora, Simson, dan sebagainya.
Di samping cerita pada masa ini, juga sudah terdapat beberapa hukum.
d.
Antara tahun 1030 - 930 S.M.: Periode Raja-Raja.
Pada periode ini, bangsa Israel memasuki tahap baru dalam kehidupannya. Mereka
mulai menganut sistem kerajaan yang diawali dengan raja Saul, kemudian
digantikan oleh raja Daud dan diteruskan oleh raja Salomo, putra Daud. Pada
masa inilah bangsa Israel menjadi cukup terkenal dan disegani oleh
bangsa-bangsa lain. Pada zaman raja Saul, Daud, dan Salomo, bagian-bagian Kitab
Suci Perjanjian Lama mulai ditulis. Misalnya, Kisah Penciptaan Manusia, Manusia
jatuh dalam dosa dan akibatnya, Bapabapa Bangsa, Kisah Para Raja, beberapa
bagian Mazmur, dan hukumhukum.
e.
Antara tahun 930 - 722 S.M.: Kerajaan Israel dan
Yahuda. Sesudah raja Salomo wafat, kerajaan Israel terpecah menjadi dua, yaitu
kerajaan Utara (Israel) dan kerajaan Selatan (Yuda). Kerajaan Utara hanya
berlangsung sampai tahun 722 S.M. Pada periode ini dilanjutkan dengan penulisan
Kitab-kitab Suci Perjanjian Lama yang melengkapi ceritacerita Kitab Taurat Musa
serta beberapa tambahan hukum. Di samping itu, pada periode ini mulai muncul
pewartaan para nabi dan kisah para nabi seperti Elia dan Elisa, Hosea, Amos.
Beberapa bagian pewartaan para nabi mulai ditulis. Pada masa ini, beberapa
kumpulan hukum perjanjian mulai diterapkan dan ditulis. Kita dapat membacanya
dalam kitab Ulangan.
f.
Antara tahun 722—587 S.M.: Kerajaan Yehuda masih
berlangsung sesudah kerajaan Israel jatuh. Kerajaan Yehuda atau Yuda masih
tetap berdiri kokoh sampai akhirnya mereka dibuang ke Babilon pada tahun 587
S.M. Pada masa ini beberapa tradisi tertulis tentang kisah bapabapa bangsa
mulai disatukan. Demikian juga, pewartaan para nabi mulai ditulis dan sebagian
diteruskan dalam bentuk lisan. Pada masa ini juga muncul tulisan tentang
sejarah bangsa Israel, beberapa bagian dari Mazmur, dan Amsal.
g.
Antara tahun 586 - 539 S.M.: Zaman pembuangan
Babilon. Orangorang Israel yang berasal dari Kerajaan Yuda hidup di pembuangan
Babilon atau Babel selama kurang lebih 50 tahun. Pada masa ini, penulisan Kitab
Sejarah dilanjutkan. Muncul pula tulisan yang kemudian kita kenal dengan kitab
Ratapan. Demikian pula halnya dengan nabinabi, pewartaan para nabi sebelum
pembuangan ditulis pada masa ini. Pada periode ini juga muncul para imam yang
menuliskan hukumhukum yang sekarang masuk dalam kitab Imamat.
h.
Antara tahun 538 - 200 S.M: Sesudah pembuangan,
bangsa Israel diizinkan pulang kembali ke tanah airnya oleh raja Persia yang
mengalahkan Kerajaan Babilon. Pada masa ini kelima kitab Taurat telah
diselesaikan. Juga kitab-kitab Sejarah Yosua, Hakim-hakim, 1-2 Samuel, dan
Raja-raja sudah selesai ditulis. Kitab-kitab para nabi pun sudah banyak yang
diselesaikan Dari ratusan nyanyian, akhirnya dipilih 150 mazmur yang kita
terima sampai sekarang. Pada masa ini muncul pula beberapa tulisan Kebijaksanaan.
i.
Dua abad terakhir: Pada masa ini ditulislah
kitab-kitab seperti: Daniel, Ester, Yudith, Tobit, 1, 2 Makabe, Sirakh dan
Kebijaksanaan Salomo.
Kanonisasi Kitab Suci dan Kitab Deuterokanonika
• Kata “kanon” berasal dari bahasa Yunani “canon”, yang artinya: norma,
ukuran atau pedoman. Kitab-kitab yang terdapat dalam kanon disebut kitab-kitab
kanonik. Kitab-kitab yang diakui sebagai kanonik tersebut diakui resmi sebagai
Kitab Suci dan dijadikan patokan atau norma iman mereka
• Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani
(Hebrew), tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan
akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya, banyak
keturunan mereka tidak lagi bisa menggunakan bahasa Ibrani, dan mulai berbicara
dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional.
Oleh karena itu banyak diantara mereka membutuhkan terjemahan seluruh Kitab
Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Kebetulan pada waktu itu di Alexandria
berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan
Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek penterjemahan dari seluruh
Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72
ahli-kitab Yahudi (mereka adalah wakil dari ke 12 suku bangsa Israel, dan tiap
suku diwakili 6 orang )
• Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut
Septuagint, yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah
penterjemah. Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi
(kanon Alexandria) bagi kaum Yahudi yang terusir, yang tinggal di Asia Kecil
dan Mesir. Pada waktu itu bahasa Ibrani nyaris mati dan orang-orang Yahudi di
Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. (Jadi hampir bisa dipastikan
Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru menggunakan
Perjanjian Lama terjemahan Septuagint. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab
Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari
Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis
dalam bahasa Yunani).
• Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi
punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para
rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi
terhadap Gereja. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria
untuk menentukan kanon Kitab Suci mereka : 1. Ditulis dalam bahasa Ibrani; 2.
Sesuai dengan Kitab Taurat; 3. Lebih tua dari zaman Ezra (sekitar 400 SM); 4.
Ditulis di Palestina.
• Atas kriteria-kriteria di atas mereka mengeluarkan kanon baru untuk
menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam
Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe,
2 Makabe, berikut tambahantambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat
Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan
semata-mata atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari
kitab-kitab yang ditolak di atas.
• Gereja tidak mengakui konsili rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap terus
menggunakan Septuagint. Pada konsili di Hippo tahun 393 Masehi dan konsili
Kartago tahun 397 Masehi, Gereja Katolik secara resmi menetapkan 46 kitab hasil
dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama
enam belas abad, kanon Alexandria diterima secara bulat oleh Gereja.
Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak oleh konsili Jamnia, dikutip oleh
para Bapa Gereja (diantaranya: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement,
dan St. Cyprianus ) sebagai kitab-kitab yang setara dengan kitabkitab lainnya
dalam Perjanjian Lama. Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab yang ditolak
tersebut dikenal oleh Gereja sebagai Deuterokanonika (=termasuk kanon kedua)
yang artinya kira-kira: “disertakan setelah banyak diperdebatkan”.
Pejelasan Tambahan
Sepanjang masa Allah senantiasa mewahyukan Diri. Pewahyuan Diri Allah
pada dasarnya tertuju kepada semua manusia dari segala bangsa. Pewahyuan Diri
Allah yang universal itu, ditanggapi dengan berbagai macam cara dan sikap. Dari
sekian banyak bangsa manusia, ada satu kelompok bangsa yang menanggapi
pewahyuan Diri Allah itu secara khas, yaitu bangsa Israel, yang sekaligus
dipakai Allah untuk menjadi sarana dalam menyampaikan rencana penyelamatan-Nya,
sebagaimana terungkap dalam Kitab-Kitab Perjanjian Lama.
• Mengingat isi Perjanjian Lama yang sangat penting itu, maka membaca
dan mendalami Kitab Perjanjian Lama merupakan keharusan.
Pertama, dengan mempelajari Perjanjian Lama, kita akan melihat
bagaimana Allah secara terus-menerus dan dengan setia menyatakan Diri-Nya untuk
dikenal; dan bagaimana bangsa Israel menanggapi pewahyuan Allah itu. Hubungan
timbal-balik antara Allah dengan bangsa Israel tersebut dapat menjadi cermin
bagi manusia yang hidup zaman sekarang dalam membangun relasi yang lebih baik
dengan Allah.
Kedua, Kitab Suci Perjanjian Lama bukan buku yang pertamatama hendak
menguraikan fakta-fakta sejarah, melainkan dan terutama hendak mengungkapkan
Allah yang berfirman, yang menyampaikan rencana dan tindakan penyelamatan
kepada manusia. Perjanjian Lama adalah Firman Allah. Karena Firman Allah, maka
manusia diminta untuk mau mendengarkan dan menjalankan apa yang
difirmankan-Nya.
Ketiga, beberapa bagian kitab Perjanjian Lama berisi nubuatnubuat
tentang Juru Selamat yang dijanjikan Allah, yang digenapi dalam diri Yesus
Kristus. Oleh karena itu, pemahaman diri Yesus Kristus sebagai penggenapan
janji Allah dapat sepenuhnya dipahami bila kita mempelajari Perjanjian Lama.
Keempat, Yesus sendiri sebagai orang Yahudi mendasarkan pengajaran-Nya
dari Kitab Perjanjian Lama. Ia tidak meniadakan Perjanjian Lama, melainkan
meneguhkan dan sekaligus memperbaharuinya
LATIHAN SOAL KITAB SUCI
SILAHKAN KLIK DISINI
Renungan Harian Katolik
BalasHapusBerita Kapuas Hulu
Kapuas Hulu
Berita Kapuas Hulu Terbaru
Berita Kapuas Hulu Hari Ini