Kamis

Paus Fransiskus: Fransiskus dari Assisi di Zaman Modern

 


Kalau kita bicara soal pemimpin spiritual yang benar-benar “beda,” sulit rasanya untuk tidak menyebut Paus Fransiskus. Sejak awal terpilih sebagai Paus tahun 2013, beliau langsung bikin kejutan—bukan karena gebrakan politik atau doktrin berat, tapi karena kesederhanaannya yang tulus. Beliau memilih nama "Fransiskus" sebagai Paus, dan itu bukan asal pilih. Nama itu adalah penghormatan kepada Santo Fransiskus dari Assisi, sang pencinta damai, alam, dan kaum miskin.

Dan kalau kita perhatikan lebih dalam, gaya hidup dan ajaran Paus Fransiskus memang sangat "Fransiskan"—bukan cuma dari cara berpakaian atau pilihan tempat tinggal, tapi dari cara beliau memandang dunia dan sesama. Rasanya pantas banget kalau beliau disebut sebagai “Fransiskus dari Assisi di zaman modern.”

Paus Fransiskus hidup di tengah pusat kekuasaan agama terbesar di dunia, tapi justru menunjukkan gaya hidup yang jauh dari mewah. Beliau menolak tinggal di Istana Apostolik dan lebih memilih Domus Sanctae Marthae—tempat yang lebih sederhana dan dekat dengan para pekerja Vatikan. Ia juga tidak segan-segan naik mobil kecil atau bahkan bus umum saat masih jadi Uskup di Buenos Aires.

Dalam dokumen Evangelii Gaudium (2013), Paus menulis, “Saya ingin Gereja yang miskin dan untuk orang miskin.” (EG, 198) Itu bukan slogan semata, tapi benar-benar dijalani. Dalam banyak kesempatan, Paus Fransiskus lebih memilih bertemu orang biasa, menyentuh tangan mereka, mendengar keluh kesah mereka—bukan hanya menyampaikan ajaran dari atas mimbar.

Satu hal lain yang mencolok dari Paus Fransiskus adalah semangat persaudaraan universalnya. Beliau menjalin dialog dengan semua orang—entah mereka beragama Katolik, Muslim, Yahudi, atau bahkan yang tidak percaya agama sekalipun. Persis seperti Santo Fransiskus dari Assisi yang datang ke kamp Sultan al-Kamil saat Perang Salib hanya untuk berdialog secara damai, Paus Fransiskus juga mengambil jalur yang sama: membangun jembatan, bukan tembok.

Dalam ensiklik Fratelli Tutti (2020), Paus mengajak kita semua untuk melihat satu sama lain sebagai saudara: “Kita dipanggil untuk menjadi satu keluarga manusia, untuk hidup bersama dalam sebuah rumah bersama, yaitu bumi.” (FT, 17)

Beliau bahkan menandatangani Dokumen Persaudaraan Manusia bersama Imam Besar Al-Azhar pada 2019 di Abu Dhabi—sebuah langkah berani dalam dunia yang sering kali dipecah oleh fanatisme dan konflik agama.

Dari sudut pandang sosial, Paus Fransiskus juga membawa angin segar. Ia mendorong Gereja untuk keluar dari zona nyaman dan membuka diri pada mereka yang terluka dan tersisih. Dalam pandangannya, Gereja bukanlah klub eksklusif orang-orang suci, melainkan "rumah sakit lapangan" untuk yang sedang jatuh dan butuh tempat bersandar.

Beliau pernah mengatakan: “Saya lebih suka Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar ke jalan, daripada Gereja yang tertutup dan merasa nyaman dalam keamanan semunya.” (Evangelii Gaudium, 49)

Ini sejalan banget dengan harapan banyak umat yang ingin Gereja lebih manusiawi, lebih ramah, dan tidak menghakimi.

Satu hal lagi yang membuat Paus Fransiskus begitu relevan hari ini adalah kepeduliannya pada lingkungan. Dalam ensiklik Laudato Si’ (2015), beliau membahas pentingnya menjaga bumi sebagai rumah bersama. Ia menekankan bahwa krisis lingkungan dan krisis sosial adalah dua sisi dari koin yang sama. Kata Paus: “Segala sesuatu saling berkaitan, dan semua orang kita dipersatukan sebagai saudara dan saudari dalam perjalanan kasih.” (Laudato Si’, 92)

Ia menantang kita semua—bukan hanya umat Katolik, tapi seluruh umat manusia—untuk hidup lebih bijak, lebih hemat, dan lebih bersyukur terhadap ciptaan Tuhan.

Dalam dunia yang makin kacau—dengan krisis iklim, perang, ketimpangan ekonomi, dan polarisasi sosial—Paus Fransiskus hadir seperti suara kenabian. Ia mengingatkan bahwa spiritualitas itu tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari. Menjadi orang beriman berarti juga menjadi orang yang peduli, adil, dan penuh kasih.

Teolog Leonardo Boff, yang juga dikenal sebagai tokoh teologi pembebasan, pernah berkata:  “Paus Fransiskus adalah perpanjangan tangan dari semangat Fransiskus Assisi; ia adalah utusan spiritualitas yang menyentuh bumi namun mengangkat langit.” Dan memang, lewat gaya hidupnya, ajarannya, dan sikap-sikap kecilnya yang penuh kasih, Paus Fransiskus membawa kita kembali pada esensi: mencintai Tuhan, mencintai sesama, dan mencintai bumi.

Di tengah dunia yang serba cepat dan materialistis, figur seperti Paus Fransiskus menjadi pengingat bahwa kesederhanaan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan. Bahwa dialog lebih kuat dari debat, dan bahwa merangkul lebih bermakna daripada menghakimi.  Melalui Paus Fransiskus, kita bisa melihat bahwa semangat Santo Fransiskus dari Assisi masih hidup dan relevan—bahkan semakin dibutuhkan. Ia bukan hanya Paus, tapi seorang sahabat bagi semua, suara hati nurani di tengah kebisingan dunia, dan terang kecil yang menyinari zaman modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar