Sebuah refleksi tentang perjalanan seorang pengajar
agama
Oleh: Paulus Bambang Tri Suwasono S.Pd
Sebuah lagu bossanova terdengar keras dari sebuah
Handphone ketika waktu menunjukan pukul 05.30. sebuah alarm memberitahu bahwa pagi
telah datang. Bangun, membersihkan diri dan menyiapkan segala sesuatu untuk memulai
semuanya. Pagi adalah sebuah awalan hari baru akan dimulai. Aktifitas baru,
karya dan pelayanan-pelayanan berderet rapi untuk dinikmati. Pagi adalah sebuah
semangat untuk selalu siap menghadapi setiap tantangan hidup. Pagi adalah
cinta. Pagi adalah sebuah tindakan baru hasil dari evaluasi karya hari kemarin.
Perjalanan hidup yang
panjang dimulai dari sebuah pagi. Perjalanan menapaki panggilan hidup sebagai
pengajar agama di SMA Marsudirini Sedes Sapientiae Semarang. Panggilan ini
selalu dihidupi dengan semangat pagi. Semangat untuk selalu baru, selalu segar.
Semangat untuk terus mewartakan cinta. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal
Allah, sebab Allah adalah kasih (1 Yoh, 4:8-16). Karena dengan mewartakan cinta saya mewartakan Allah. Dengan cinta
pula saya berusaha memperbaiki diri terus menerus Sehingga setiap hari berusaha
untuk selalu lebih baik. Sekalipun untuk mencapai hal ini tidaklah selalu
mudah. Ada banyak “keinginan daging” yang kadang membelokan arah motivasi tadi.
Sekalipun terkadang ego menjadi sangat kuat tetapi pagi akan selalu datang dan
memberi kesempatan baru untuk memperbaiki.
Menjadi bagian dari Yayasan Marsudirini bagi saya
seperti minum secangkir kopi hitam. Ada rasa manis tetapi ada rasa pahit yang
tidak mungkin akan hilang. Rasa pahit itulah yang membuat secangkir kopi
menjadi sangat nikmat. Sekalipun saya baru tiga atau empat teguk kopi, rasa manis
dan pahit sudah cukup terasa. Sisi manis dari secangkir kopi ini awalnya adalah
terpenuhinya biaya sekripsi yang membengkak. Ketika Yayasan Marsudirini
menerima saya sebagai pengajar saat status masih mahasiswa semester akhir
sungguh mampu menjadi sebuah oase dari kebuntuan saya dalam usaha memenuhi
kebutuhan skripsi yang tidak mungkin akan ditawar-tawar. Maka ketika itu hanya
rasa syukur akan sebuah keberuntungan. Seakan Tuhan menjawab berbagai doa yang
saya daraskan. Rasa manis inilah yang menjadi modal awal dalam menapaki
hari-hari di Yayasan Marsudirini.
Kopi panas di atas meja telah tersaji. Satu dua teguk menjadi
modal awal menikmati sederet tugas dan karya. Rutinitas yang berlangsung setiap
hari, setiap minggu, setiap bulan dan bahkan setiap tahun menjadikan rasa pahit
di dalam kopi semakin mewujud. Ya, sisi pahit dari kopi ini adalah rasa jenuh,
lelah, statis, dan sesekali dinamika negative dari sebuah relasi pertemanan
dengan rekan sekerja. Kopi selalu punya cara untuk menjaga semangat hidup tetap
menyala dengan dinamika rasa pahit dan rasa manisnya yang ada. Menjadi pengajar
agama bagian dari rasa manis dan pahit kopi itu. Jika pengajar yang lain
memungkinkan untuk memberi les bagi siswa sekolah lain, maka saya tidak
memungkinan untuk itu. Beberapa teguk
kopi lagi-lagi membawa saya pada sebuah kesadaran dan sikap untuk menerima diri
apa adanya seperti kopi yang selalu menerima ras pahit dalam dirinya. Ibu Magdalena Daemen sosok yang menjadi
inspirasi saya di yayasan ini mengajarkan untuk menerima diri apa adanya dan
menyerahkan segala sesuatunya pada kehendak Tuhan. Secangkir kopi juga membawa
saya pada sebuah persaudaraan Fransiskus yang tanpa batas di SMA Marsudirini
Sedes Sapientiae semarang, ketika ngopi bersama para guru terjadi saling mengingatkan, saling menegur, saling membangun, dan
saling berbagi pengalaman. Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di
Tesalonika menyampaikan nasihatilah
seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu (Lih 1Tes 5:11)
Sebagai
orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas
kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah
kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain
apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah
mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu:
kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. (Lih Kolose 3:12-14). Semua yang dikatakan Santo
Paulus mewujud di dalam relasi saya dengan teman sekerja dan peserta didik.
Inilah yang juga menjadi sebuah keuntungan di dalam berkarya di Yayasan
Marsudirini.
Sebagai seorang pengajar sekaligus sebagai seorang
suami dan ayah bagi anakku, spiritualitas fransiskus tetap manjadi salah satu
pegangan dalam hidup. Banyak kali fransiskus mengajarkan bahwa dalam
menyelesaikan suatu masalah lakukanlah pertama-tama dengan ngobrol santai dan
penuh kekeluargaan. Hal inilah yang juga selalu saya lakukan dalam
menyelesaiakan masalah di dalam keluarga. Tidak dengan marah-marah tetapi
dengan ngobrol santai. Pada saat itulah solusi-solusi banyak yang muncul dan
bisa saya selesaikan.
Pagi adalah semangat yang selalu baru, harapan baru,
dengan semangat pagi ini saya mencoba untuk menjadi pribadi yang selalu membawa
pembaharuan, selalu membawa harapan baru. Gagal dan terjatuh adalah hal yang
biasa dan mungkin saja terjadi. Tetapi bangkit kembali menjadi keharusan.
Bangkit dan menjadi lebih baik lagi itulah semangat pagi.
Pagi adalah waktu terbaik untuk memulai semua karya,
persembahan diri untuk masa depan generasi muda bagi Gereja dan Negara. Bersama
Marsudirini saya beruntung dapat ambil bagian pada penulisan sejarah peradaban
manusia, pada tugas pewartaaan Yang Tuhan berikan pada saya. Dan semangat itu
saya jaga dengan secangkir kopi panas yang tersaji setiap pagi. Ya, kopi
bersama semua dinamika rasa di dalamnya, bersama ketegasan rasa dan aromanya,
bersama ketulusan warnanya dan kejujuran rasa pahitnya. Menjalani hidup bersama
marsudirini seperti menikmati secangkir kopi panas di pagi hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar