Sebuah catatan sederhana tentang panggilan sebagai seorang guru
Masih terngiang di dalam ingatanku ketika bapakku yang
seorang guru sd mengatakan bahwa guru adalah jalan hidup yang mulia. Ada sebuah
alasan yang menarik kenapa beliau menjadi seorang guru yaitu ikut ambil bagian
dalam menuliskan
sejarah suatu generasi. Seorang guru harus mempersiapkan dirinya bertahun-tahun
sebelum terjun ke medan pendidikan karena mendidik tidaklah mudah, tidaklah
sederhana.
Menjadi guru harus memiliki ilmu, tekad,
dan spritualitas serta banyak hal yang lainnya. Spiritualias adalah point
pentng yang kelak akan mempengaruh cara berpikir siswa, spritualitas seorang
guru akan membentuk anak didiknya menjadi seperti apa yng diharapkan oleh guru
tersebut. Seorang guru yang tidak memliki spritualias maka hanya akan memindah
ilmu saja tetapi
tidak akan mengubah apapun, tidak akan membangun karaker anak didiknya.
Apa sebenarnya yang dimaksud spiritualias?
Spiritualitas di sini mengacu pada nilai- nilai religius yang mengarahkan tindakan
seseorang Jika nilai- nilai yang dipegang tidak mengarah pada
Tuhan, kebahagiaan yang dicapai adalah ‘semu’ sedangkan jika nilai-nilai itu
mengarah pada Tuhan, kebahagiaan yang diperoleh adalah kebahagiaan sejati.
Meskipun spiritualitas ini tidak terbatas pada agama tertentu, namun, kita bisa
memahami, bahwa spiritualitas mengarah pada Tuhan Sang Pencipta, karena semua
manusia diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama, dan karena hanya di dalam
Tuhanlah kita mendapatkan jawaban atas segala pertanyaan di dalam kehidupan
ini.
Dari sini kita dapat melihat apakah seorang guru itu memiliki
spirtualitas katolik. Ada setidaknya beberapa ciri spritualitas katolik yang dapat dilihat pada diri seorang guru katolik.
ciri-ciri dari
Spiritualitas katolik tersebut adalah
- Hidupnya berpusat pada Kristus.
Kristuslah yang menciptakan hidup spiritual, sebab di dalam Dia, Tuhan
menyatakan diriNya oleh kuasa Roh Kudus.
- Melalui
Kristus menuju kesatuan dengan
Allah Tritunggal. Hidupnya
mengarah kepada Allah Tri Tunggal melalui Yesus Kristus .
- Hidupnya ikut ambil bagaian di dalam misteri
Paska Kristus (salib, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga). Artinya hidupnya penuh pertobatan, selalu
berusaha memperbaiki setiap kekurangan yang ada.
- Hidupnya berpedoman kepada Kitab suci karena Kitab Suci bukan hanya wahyu
Tuhan, tapi juga pernyataan akan pengalaman manusia di dalam wahyu Tuhan
itu. Apa yang dialami oleh Adam dan Hawa, Nabi Abraham, Ayub, Bunda Maria,
Rasul Petrus dan Paulus, dapat dialami oleh kita semua.
- Memilki
Spiritualitas katolik berlandaskan atas keyakinan akan Kasih Tuhan di atas
segalanya yang mampu mengubah segala sesuatu. Mengarah pada kehidupan kekal yang dijanjikan oleh Allah.
- Melihat
Bunda Maria sebagai contoh teladan.
- Mengacu pada ajaran Gereja-Nya, Gereja Katolik.
Selain berspritualtas katolik maka seorang
guru juga harus memiliki
semangat muda. Sebuah semangat yang terus menggebu-gebu untuk membaharui diri
terus menerus tanpa henti.. Beberapa
ciri semangat Muda adalah cara berpikirnya yang dinamis, kreatif, idealis, peka
pada setiap perubahan, berani bereksperimen dan tidak lagi kolot sekalipun
tidak melepas nilai-nilai yang ada. Dengan semangat muda
seorang guru mampu mengikuti
dinamika zaman yang ada dimana para siswa menjalani hidupnya. Kemudaan yang
dimiliki
para guru membawa mereka menjadi pendidik yang mudah diterima oleh siswa, baik cara mengajarnya maupun dalam kesehariannya.
Guru
yang berjiwa muda dan berspritualitas katolik diharapkan mampu menjawab
tantangan zaman yang ada. Mampu membangun orang-orang muda yang dipercayakan
kepadanya dengan penuh cinta yang tulus. Menjadi manusa-manusia yang beriman
kepada Kristus Yesus dan tangguh dalam mejalani hidup berjiwa humanis.
Referensi bacaan:
§ Jordan
Aumann, Spiritual Theology, Spiritual Theology,
(Continuum, London, reprint 2006, first published in 1980), p17, “…spirituality
refers to any religious or ethical value that is concretized as an attitude or
spirit from which one’s actions flow.”
§ Douglas
G. Bushman, S.T.L., Foundation of Catholic Spirituality, Institute for
Pastoral Theology, Ave Maria University, 2006, p. 35-37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar